loading...
(Baca juga: Indonesia Terserah, PKS Sebut Regulasi Pemerintah Tak Saling Dukung)
Menurutnya, tagar ini menghimpun semua keluh kesah, kekesalan, kebingungan serta sekalian kepasrahan. Tentu saja, nuansa emosi dari tagar ini bisa beragam, dari yang sekedar kritik lunak bahkan mungkin sampai pada taraf kecewa sangat.
Baca Juga:
"Tagar ini menggambarkan sesuatu yang objektif dalam masyarakat. Tak bisa dipungkiri, kinerja pemerintah dalam menghadapi Covid-19 ini antara ada dan tiada," tutur Ray saat dihubungi SINDOnews, Rabu (20/5/2020).
(Baca juga: Mahfud MD Bilang Siapa Pun Jangan Takut dengan Luhut)
Ray menuturkan, pemerintah dianggap ada hanya ketika membuat aturan. Tapi seperti tidak ada jika berhubungan dengan apakah aturan itu dilaksanakan di lapangan atau tidak. Banyak aturan, bahkan kadang saling tabrakan, tapi hampir semua aturan itu seperti tidak berwujud dalam realitasnya.
"Bukan saja karena publiknya yang mungkin kurang patuh, tapi tak jarang malah pokok soalnya adalah elit politik yang seperti tidak satu pandangan dan suara dalam menjalankan aturan yang dibuat," ujarnya.
Bahkan lanjut Ray, sikap dan pernyataan presiden juga ikut membantu ketidakjelasan aturan dimaksud. Sebut saja dengan pernyataan presiden yang terakhir yang menyebut PSBB tetap dan tidak ada pelonggaran. Tapi beberapa ketentuan yang menunjang PSBB malah dibolehkan. Misalnya mudik, transportasi yang dilonggarkan, mall dan pasar yang mulai dibuka kembali.
"Akibatnya, makin banyak warga yang merasa bahwa pemerintah seperti tidak sedang menanggulangi wabah Covidnya, tapi lebih sibuk membenahi sektor ekonominya," ungkap dia.
Menurut Ray, ujung dari pandangan ini adalah sikap pasrah, dan kemudian tidak peduli pada imbauan, sikap, pernyataan, bahkan aturan dari pemerintah sendiri. Kepasrahan yang tidak peduli itulah yang tercermin dalam kata "terserah".
Ray mengatakan, tentu saja jika presiden menghayati betul suasana batin rakyat Indonesia ini, lebih dari cukup untuk mengingatkan dia agar lebih terlihat fokus menghadapi wabah covid ini. Menurut mantan aktivis 98 asal UIN Jakarta ini, makin Presiden terlihat hanya bermain kata, akan makin banyak kegusaran terhimpun.
Untuk itu, sambung dia, Presiden Jokowi mestinya menyadari makin sulit bagi pemerintahannya saat ini menghimpun kerelawanan masyarakat. "Absennya kerelawanan partisipasi masyarakat terhadap berbagai langkah pemerintah, akhir-akhir ini cukup jadi isyarat bahwa masyarakat bisa juga bersikap tidak peduli pada pemerintahan Jokowi," ucapnya.
(maf)