Liputan6.com, Agam - Setelah tiga hari terlantar karena ditinggal induknya di ladang warga, akhirnya dua ekor bayi kucing hutan diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Agam, Sumatera Barat.
Kedua bayi satwa langka itu ditemukan oleh Azizul Hakim warga Lubuk Basung, Kabupaten Agam beberapa hari yang lalu di kebun Jagung miliknya dalam kondisi ditinggalkan induknya.
Takut induknya akan kehilangan dan akan kembali, anak kucing hutan itu dibiarkan tetap di sana selama tiga hari, ternyata sang induk tidak datang lagi dan satwa tersebut dibawa pulang.
"Mengetahui jenis kucing tersebut termasuk satwa dilindungi, Azizul Hakim selanjutnya menghubungi pihak BKSDA untuk menyerahkan satwa ini," kata Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Resor Agam, Ade Putra kepada Liputan6.com, Sabtu (16/5/2020).
BKSDA Resor Agam langsung mengobservasi. Jenis kucing hutan ini adalah kucing kuwuk dengan jenis kelamin jantan. Usianya diperkirakan baru satu minggu.
Untuk sementara bayi kucing dengan bahasa latin Prionailurus Bengalensis tersebut akan dirawat dan direhabilitasi pihak BKSDA, sampai kondisinya layak untuk dilepas kembali ke habitatnya.
"Kondisinya sehat, untuk sementara kami rehabilitasi dulu karena jika dilepas sekarang mereka tidak akan sanggup bertahan di hutan," jelasnya.
Pihaknya menyampaikan apresiasi kepada warga tersebut yang sudah peduli serta menyelamatkan kucing hutan ini hingga menyerahkannya ke BKSDA.
Kucing kuwuk adalah satwa yang memiliki bintik-bintik menyerupai corak kulit mancan tutul, sehingga dalam bahasa inggris kucing ini disebut juga dengan leopard cat.
Tempat hidup atau habitat kucing ini bervariasi, seperti di hutan tropis, semak belukar, hutan pinus, semi-gurun, daerah pertanian, hingga daerah bersalju tipis.
"Kucing ini mampu hidup di habitat dengan ketinggian mencapai 3.000 Meter di atas Permukaan Laut," ujar Ade.
Satwa dilindungi tersebut jago memanjat dan suka beraktivitas pada malam hari atau nokturnal. Makanan atau buruannya ialah tikus, bajing, kelinci, binatang amphibi, kancil, dan ikan.
Di indonesia, sejak tahun 1999 satwa ini masuk dalam jenis dilindungi, sehingga setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, memiliki, menyimpan, memelihara, mengangkut dan memperniagakannya baik dalam keadaan hidup atau mati.
Sesuai dengan Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, lanjut Ade pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.