loading...
Dia mengatakan, wacana pelonggaran sudah membawa dampak PSBB semakin tidak disiplin dan mengarah kepada ketidaktaatan dalam kebijakan dan peraturan pemerintah. Sebabnya, kata pendiri Indef ini, tidak lain adalah komunikasi yang kurang baik bahkan kacau dari pejabat pemerintah mulai dari awal yang cenderung menghindar dan menolak (denieal) terhadap pandemi Covid-19 di Indonesia.
"Komunikasi yang menjadi blunder sangat banyak sekali, diantaranya 'cukup makan nasi kucing dari menteri, minum saja susu kuda liar dari wapres, dan kebingungan memahami larangan mudik dan pulang kampung oke dari presiden sendiri sebagai materi komunikasi yang salah kaprah dan ditanggapi negatif oleh masyarakat," ungkapnya melalui keterangan tertulis yang dikutip SINDOnews, Rabu (20/5/2020).
Baca Juga:
Dia mengatakan, potensi kegagalan suatu kebijakan publik sudah terjadi di awal ketika komunikasi seperti ini bukan hanya tidak baik atau buruk tetapi bahkan salah kaprah sehingga kebijakan tidak efektif. Hasil dari kebijakan tersebut terlihat pada saat ini dimana terjadi kebingungan publik di tengah simpang siur kebijakan yang tidak konsisten.
Dia menalnjutkan, Presiden harus berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap pelonggaran dan wacana pelonggaran yang sudah salah kaprah dan ditanggapi terserah saja oleh publik dan masyarfakat luas ini. Hal ini sebagai pertanda tidak percaya dan pasrah terhadap keadaan.
Didik mengugatkan, sejarah pandemi influenza di Indonesia satu abad yang lalu sudah pernah terjadi dan memakan korban yang sangat besar sampai kisaran 20% dari penduduk meninggal dunia. Dia merujuk pada catatan disertasi Prof Dr Widjojo Nitisastro tentang pandemi influenza, dimana korban meninggal banyak sekali, berkisar dari 1,1% hingga 23,71% dari populasi di berbagai daerah di Jawa.
"Catatan ini perlu mendapat perhatian bahwa kita pernah mengalami pandemi yang berat karena di masa lalu sarana kesehatan kurang," tandasnya. Didik mengingatkan, jika presiden dan jajaran pemerintahannya tidak berhati-hati, maka kejadian pandemi ini bukan tidak mungkin memakan korban lebih banyak lagi dari yang sekarang sudah berkembang lebih berat dengan
kurva yang terus meningkat.
Dia menilai kebijakan PSBB sudah sejak awal sangat setengah hati dan hasilnya sangat jauh dari sukses. Data yang bersumber dari endcoronavirus.org menunjukkan, hasil PSBB dan kebijakan pandemi Covid-19 di Indonesia paling tidak sukses atau bahkan buruk dibandingkan dengan tingkat kesusesan negara-negara tetangga di ASEAN.
"Dengan melihat fakta yang ada dan kurva yang masih terus meningkat, maka atas dasar apa wacana dan rencana pelonggaran akan dilakukan? Baru wacana saja sudah semakin tidak tertib dan PSBB dilanggar secara massal di berbagai kota di Indonesia tanpa bisa diatur secara tertib oleh pemerintah," cetusnya.
Keadaan ini menurutnya terjadi karena pemerintah menjadi masalah kedua setelah masalah Covid-19 itu sendiri. Didik mengatakan, pemerintah tidak menjadi bagian dari solusi, tetapi masuk ke dalam menjadi bagian dari masalah.
"Peringatan yang harus disampaikan di sini bahwa pelonggaran dan wacana pelonggaran yang tidak berhati-hati tanpa pertimbangan data yang cermat sama dengan masuk ke dalam jurang kebijakan herd immunity. Yang kuat sukses sehat, yang lemah tewas. Ini bisa dianggap sebagai kebijakan pemerintah menjerumuskan rakyatnya ke jurang kematian yang besar jumlahnya," tandasnya.
(fai)