TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua DPD RI Mahyudin berpendapat jika DPD RI memiliki peran penting dalam pemantauan dan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan Peraturan Daerah (Perda), karena DPD RI merupakan representasi daerah yang berjuang untuk kepentingan daerah.
Pada saat ini ditemukan peraturan daerah yang ternyata tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Terkait hal itu, Mahyudin menjelaskan jika salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, adalah dengan melakukan penguatan dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dalam pembentukan perda.
“Pada tataran inilah peran DPD RI menjadi sangat penting, mengingat DPD RI memiliki kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi Ranperda dan Perda sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 249 ayat (1) huruf j UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU MD3 (yang telah diubah terakhir melalui UU Nomor 13 Tahun 2019),” jelas Mahyudin saat menjadi Keynote Speaker dalam Seminar yang digelar oleh Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI bekerja sama dengan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan Westminster Foundation for Democracy (WFD) Indonesia dengan tema 'Pemantauan dan Peninjauan Serta Evaluasi Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada)’ di Sentul, Bogor, Rabu (24/3).
Senator asal Kalimantan Timur ini menjelaskan secara prinsip DPD RI tidak saja menganalisa Ranperda atau Perda yang disampaikan, namun juga akan meneliti dan menganalisa lebih lanjut bagaimana peraturan perundang-undangan diatasnya, karena dikhawatirkan peraturan perundang-undangan diatasnyalah yang tidak implementatif, atau multitafsir. Oleh karenanya, metode dan tahapannya harus disesuaikan dengan kelembagaan DPD RI sebagai lembaga perwakilan daerah.
“Posisi DPD dalam konteks pemantauan dan evaluasi Ranperda dan Perda, outputnya akan berupa rekomendasi DPD yaitu rekomendasi holistik yang berkaitan dengan harmonisasi legislasi pusat-daerah bukan rekomendasi perda per perda,” imbuhnya.
Mahyudin menjelaskan, dalam ranah implementasi hukum dan perundang-undangan di Indonesia, kesenjangan implementasi dan penegakan norma peraturan perundang-undangan menjadi masalah cukup krusial pada saat ini. Salah satu kelemahan dalam sistem pembentukan peraturan daerah adalah masih ditemukan ketidaksinkronan antara Perda dan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya.
Ia menilai proses pembentukan peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan rangkaian yang berdiri sendiri. Oleh karenanya, perlu dilakukan pengamatan yang utuh dan mendalam untuk melihat keterhubungan di antara setiap tahapan sekaligus untuk menemukan titik kekuatan dan kelemahan pada setiap tahapan yang berkontribusi pada regulasi yang dihasilkan.
“Dalam kaitan ini, maka diperlukan sinergitas antara perencanaan peraturan perundang-undangan dan perencanaan kebijakan pembangunan, baik tingkat pusat maupun di tingkat daerah,” imbuh Mahyudin.
Ditambah lagi sampai saat ini masih ada permasalahan terkait pembentukan peraturan daerah. Antara lain permasalahan yang terkait dengan landasan hukum yang mendasari peraturan daerah, keinginan atau kebutuhan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, disharmoni substansi antara peraturan yang satu dengan yang lainnya.
“Hal tersebut perlu menjadi perhatian kita bersama untuk dicarikan solusi yang tepat,” ucapnya.
Mahyudin sendiri berharap dalam pelaksanaan wewenang pemantauan dan evaluasi tersebut, DPD RI nantinya bersinergi dengan fungsi pengawasan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota melalui kegiatan evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan Perda, Peraturan Kepala Daerah, dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lain.
Dalam seminar yang juga dihadiri oleh Wakil Ketua BULD DPD RI Ahmad Kanedi, Wakil Ketua Komite I DPD RI Abdul Kholik, Anggota BULD DPD RI, Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik ini, Ketua BULD DPD RI Marthin Billa, menjelaskan terkait dengan kewenangan DPD RI tersebut, yang perlu menjadi perhatian adalah terkait konstruksi pelaksanaan kewenangan pemantauan dan evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah harus dikaitkan dengan empat hal.
Pertama kedudukan DPD RI sebagai lembaga perwakilan daerah yang memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat pusat. Kedua, Pelaksanaan kewenangan pemantauan dan evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah dilaksanakan sebagai upaya DPD dalam rangka melakukan harmonisasi legislasi pusat dan daerah.
Ketiga, DPD tidak akan terlibat secara teknis pembentukan peraturan daerah dan tidak akan memperpanjang proses pembentukan peraturan daerah di daerah. Keempat, DPD ingin memfasilitasi dan mempercepat proses pembentukan peraturan daerah di daerah. Sehingga advokasi berbagai persoalan pembentukan peraturan daerah menjadi kata kunci terhadap peran yang akan dilakukan DPD kedepan.
“Dengan demikian diharapkan, DPD menjadi mata rantai baru yang memberikan kekuatan bagi daerah. DPD dapat membantu menjamin kesinambungan alur kebijakan dari pusat ke daerah. Dan Rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh DPD kelak akan memberikan perspektif baru terkait hubungan pusat dengan daerah,” jelasnya. (*)