loading...
Penangkapan Wahyu Setyawan, jelas memukul Komisi Pemilihan Umum (KPU). Peristiwa ini menjadi ujian yang tidak mudah. Tidak hanya bagi KPU, tetapi juga penyelenggara pemilu di semua level. Perbaikan menyeluruh akan menjadi penentu, seberapa cepat kepercayaan publik dapat diraih kembali.
Terbongkarnya praktik suap yang menjerat Wahyu memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan internal lembaga. Potensi modus yang sama dilakukan oleh penyelenggara pemilu di daerah mesti dicegah. Apalagi, keputusan-keputusan strategis penyelenggara pemilu memiliki potensi yang besar untuk diracuni praktik suap.
Baca Juga:
Praktik suap yang menjerat Wahyu memang masih menyisakan pekerjaan rumah bagi penegak hukum. Paling tidak, ada satu orang tersangka atas nama Harun Masiku yang masih belum jelas di mana rimbanya.
Meskipun "beban" untuk segera menangkap Harun ada di lembaga penegak hukum, secara psikologis, realitas ini akan terus membayangi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Apalagi, hari-hari ini, KPU beserta dengan jajarannya sudah memulai tahapan Pilkada 2020. Ada 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada pada 23 September 2020 nanti.
Sistem Internal
Salah satu aspek penting yang menjadi penyebab suap terhadap Wahyu Setyawan adalah lemahnya sistem etik dan batasan perilaku untuk seorang anggota penyelenggara pemilu.
Sebagai penyelenggara pemilu, tentu posisi anggota KPU tidak akan pernah sepi dari urusan kepentingan politik. Hukum alam kontestasi politik adalah setiap kontestan akan berusaha mati-matian untuk mendapatkan jabatan politik yang diperebutkan di dalam pemilu. Dalam usahanya untuk memenangkan pertarungan politik itu, tak jarang peserta pemilu melakukan praktik yang bertentangan dengan hukum.
Salah satunya adalah mendekati penyelenggara untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menguntungkan mereka yang punya kepentingan. Jika praktik ini tidak segera dibendung, demokrasi pemilu kita ada di dalam situasi bahaya. Adalah haram hukumnya jika seorang penyelenggara pemilu melakukan perbuatan dengan menguntungkan peserta pemilu tertentu. Apalagi, perilaku yang mencoreng netralitas itu diiringi pula dengan guyuran uang suap.
Meskipun tidak semua peserta pemilu dan penyelenggara pemilu berperilaku seperti itu, sistem internal kelembagaan mesti dibangun. Salah satu yang mesti mulai dibiasakan adalah membatasi diri untuk memersonalisasi komunikasi, apalagi pertemuan di luar kantor, dengan orang-orang yang punya kepentingan terkait dengan kontestasi pemilu maupun pilkada. Hal ini harus menjadi salah standar perilaku yang mesti dipatuhi oleh penyelenggara pemilu di semua level.
Selain untuk meredam potensi suap, hal itu juga bertujuan untuk menghindari lembaga penyelenggara pemilu dari segala macam prasangka. Setiap hal yang berpotensi menjadi prasangka wajib dihindari oleh penyelenggara pemilu. Sebagai lembaga yang dibiayai oleh negara dan diberikan tugas konstitusional untuk menyelenggarakan pemilu, mereka wajib menjaga "kenyamanan" setiap pemangku kepentingan kepemiluan.
Kenyamanan para pemangku kepentingan pemilu akan dengan mudah mereka wujudkan, dengan berhati-hati dalam bertindak dan berprilaku. Setiap komunikasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, jika itu berkaitan dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya, hal tersebut harus dibuka dan dilembagakan.
Kita (pernah) punya lembaga, dengan personel yang sangat hati-hati dan menjaga betul standar etis dan perilakunya (baca: KPK). Jangankan menerima uang suap, makan dan minum pun akan ditolak, jika yang menyuguhkan punya potensi konflik kepentingan dengan kerja-kerja mereka sebagai penegak hukum.
Batasan perilaku untuk bertemu dengan siapa, di mana, juga sangat dijaga. Sistem pencegahan dan pengawasan internal seperti ini adalah salah satu yang mendesak untuk segera dibangun oleh lembaga penyelenggara pemilu.
Bahwa penyelenggara pemilu berpotensi akan merasa pergaulannya menjadi terbatas, mungkin saja iya. Tetapi, itu menjadi sebuah konsekuensi pilihan ketika memilih profesi sebagai penyelenggara pemilu. Jika tidak sanggup untuk dibatasi oleh etik dan perilaku, tentu pilihan menjadi penyelenggara pemilu bukanlah profesi yang tepat.
Adanya batasan etik dan perilaku yang ketat ini tidak hanya dimaksudkan untuk menjaga personal penyelenggara pemilu. Tetapi, ada kepentingan lebih besar: menjaga wibawa dan kehormatan lembaga serta kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilu.
Momentum Pilkada 2020 adalah kesempatan sekaligus ujian bagi KPU. KPU dapat memanfaatkan pelaksanaan Pilkada 2020 untuk memulihkan kehormatan lembaga dan kepercayaan publik, jika mampu bekerja dengan profesional dan transparan. Sebaliknya, Pilkada 2020 akan jadi ujian, jika seluruh personel lembaga penyelenggara pemilu tak mampu menjaga perilaku dan profesionalitasnya.
Metode Rekrutmen
Pembenahan internal adalah prioritas jangka pendek bagi lembaga penyelenggara pemilu. Untuk jangka panjang, sistem rekrutmen anggota lembaga penyelenggara pemilu menjadi salah satu bagian yang penting untuk dievaluasi. Proses pemilihan anggota lembaga penyelenggara pemilu yang "mengharuskan" mereka membangun komunikasi dengan partai politik di DPR membuat mereka berada di bawah bayang-bayang konflik kepentingan.
Adalah fakta bahwa partai politik yang akan memilih mereka menjadi anggota KPU dan Bawaslu, kemudian pada saatnya, partai politik itu akan menjadi peserta pemilu. Kepentingan partai politik adalah memenangkan kontestasi pemilu. Sementara yang menyelenggarakan kontestasi itu adalah orang-orang yang mereka pilih dengan cara "berkontestasi" juga dengan calon-calon anggota lembaga penyelenggara pemilu lainnya.
Hal ini disebabkan oleh ketentuan di regulasi pemilu bahwa presiden yang dibantu oleh tim seleksi mengirimkan dua kali lipat jumlah nama kebutuhan anggota KPU dan Bawaslu. Jika jumlah anggota KPU 7 orang, presiden mengirimkan 14 nama kepada DPR untuk dipilih. Untuk anggota Bawaslu, karena jumlahnya 5 orang, presiden mengirimkan 10 orang nama. Untuk mempersempit kemungkinan konflik kepentingan anggota lembaga penyelenggara pemilu dengan partai politik yang kelak menjadi peserta pemilu, perlu ada perbaikan terhadap sistem rekrutmen KPU dan Bawaslu.
Presiden sebaiknya tidak mengirimkan dua kali lipat jumlah nama yang dibutuhkan untuk mengisi lembaga penyelenggara pemilu. Presiden cukup mengirimkan jumlah nama yang dibutuhkan untuk mengisi posisi anggota KPU dan Bawaslu. Jika anggota KPU 7 orang, presiden cukup mengirimkan 7 nama ke DPR.
Hal yang sama dilakukan untuk mengisi posisi anggota Bawaslu. Karena jumlahnya 5 orang, nama yang dikirim ke DPR juga cukup 5 orang. DPR melanjutkan proses pengisian anggota lembaga penyelenggara pemilu dengan menyetujui atau tidak menyetujui nama yang diajukan oleh presiden. Setuju atau tidak, DPR tentu memiliki alasan yang jelas dan terukur.
Jika ada nama yang ditolak oleh DPR, presiden mengajukan kembali nama pengganti. Metode ini paling tidak dapat memperkecil ruang untuk munculnya konflik kepentingan antara calon penyelenggara pemilu dan calon peserta pemilu. Meminimalisasi potensi ini sejak awal pemilihan anggota lembaga penyelenggara pemilu sangatlah dibutuhkan untuk menjaga lembaga penyelenggara pemilu tetap steril, mandiri, dan profesional.
(zil)