Liputan6.com, Jakarta - Suasana ramai di Pasar Sentral, Kota Poso, Sulawesi Tengah jelang Lebaran Idul Fitri berubah mencekam. Sebuah bom meledak dari dalam mobil angkutan perkotaan (angkot) yang melaju dari Desa Sete, Kecamatan Lage, 10 kilometer selatan Kota Poso.
Bom berdaya ledak tinggi itu meledak pada Sabtu 13 November 2004 sekitar pukul 09.20 Wita. Tiga orang tewas di tempat dan enam lainnya terluka parah akibat insiden yang terjadi sehari jelang Hari Raya Idul Fitri itu.
Korban jiwa terus berjatuhan akibat luka serius yang diderita meski sempat medapat perawatan medis. Total, enam orang tewas akibat petaka berdarah yang terjadi 15 tahun lalu itu.
Seorang saksi mata mengatakan, suara ledakan yang berasal dari angkot jurusan Poso-Tentena itu terdengar sangat keras dan mengejutkan. Bom meledak bersamaan dengan naiknya penumpang ke dalam angkot bernomor polisi DN 1599 itu.
"Saya sangat ngeri melihat ledakan bom itu, seperti bom Marriot," kata Amrul Lasiah, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Poso seperti dikutip dari Tempo.
Amrul menuturkan, ledakan dahsyat itu menyebabkan tubuh para korban tercerai berai. Bom juga menghancurkan angkot dan sebuah kendaraan di belakangnya.
Dia menilai, insiden ledakan bom itu menganggu suasana penyambutan hari raya Idul Fitri bagi warga Muslim di Poso. Akses keluar-masuk Kota Poso langsung diblokir dan mengganggu warga yang hendak mudik lebaran.
"Ini menganggu ketenangan warga yang akan merayakan lebaran besok," kata Amrul.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) saat itu Widodo Adi Sutjipto, mendeskripsikan aksi bom di Pasar Sentral Poso sebagai tindakan terorisme yang didahului oleh banyak serangan lain dalam setahun.
Kesaksian Korban Selamat
Yahya Aling menjadi salah satu korban selamat dalam peristiwa berdarah yang terjadi di Pasar Sentral Poso 15 tahun lalu. Namun dia harus merelakan dua kakinya diamputasi akibat luka parah terkena ledakan bom.
Saat itu, dia bersama tujuh orang lainnya menumpang sebuah angkot untuk berbelanja di Pasar Sentral Poso. Sesaat setelah kendaraan berhenti, satu orang langsung turun dan bersandar di pintu. Seketika dalam hitungan detik, bom meledak sangat kuat.
“Saya tidak sadarkan diri,” ujar Yahya seperti dilansir publikreport.com.
Kendaraan umum itu hancur, enam dari delapan orang penumpang kendaran itu tewas mengerikan. Satu orang lainnya yang turun lebih dulu dan bersandar di pintu mobil selamat, kendati mengalami luka yang sangat parah.
“Ajaibnya di antara tujuh orang dalam kendaraan yang hancur lebur, saya selamat,” kata Yahya yang kini harus beraktivitas dengan bantuan sepasang kaki palsu.
Dari penyampaian para saksi setelah kejadian, Yahya melanjutkan, justru ada warga muslim yang sigap menolong dirinya sejak awal. Orang itu yang membawa terus mendampinginya di mobil ambulans menuju RS Poso, lalu dirujuk ke RSUD Palu dengan perjalanan sekitar tujuh jam.
“Terhitung sejak ledakan sampai saya sadar di Palu, saya mengalami koma selama 17 jam. Orang pertama yang saya lihat ketika sadar, adalah penolong saya, orang muslim. Mungkin tanpa pertolongannya saya sudah tewas kehabisan darah sebelum paramedis datang. Dari tuturan keluarga, bapak yang berbeda agama dengan saya inilah yang tidak pernah beranjak dari sisi saya selama 17 jam,” ucapnya mengenang.
Yahya yang kini menjadi pendeta menegaskan, tragedi dan kerusuhan Poso adalah settingan para teroris, bukan konflik agama. Sebab, kata dia, justru banyak warga muslim dan kristen yang justru saling bersinergi dan membantu saat kerusuhan pecah.
“Di sini saya ingin menandaskan kembali, bahwa tragedi Poso bukanlah keinginan atau setingan kelompok tertentu apalagi agama tertentu. Buktinya, yang berkorban besar untuk menyelamatkan saya adalah sang bapak muslim. Untuk itu, saya membagi pengalaman ini kepada semua umat manusia agar setiap orang berupaya untuk terus menjaga hati dan jiwa yang selalu mengasihi terhadap semua orang tanpa memilah-milih suku atau agama,” pesannya.