loading...
Data presisi luas lahan pertanian, menurut Mentan, sangat penting, tidak hanya untuk menentukan produksi, namun juga guna menekan laju konversi atau alih fungsi lahan sehingga kedaulatan pangan nasional dapat diwujudkan segera.
“Aturan untuk menahan laju konversi lahan pertanian sudah ada, tinggal dijalankan dengan baik dan benar. Kementan bersama Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) telah melakukan koordinasi, penghitungan, dan verifikasi lahan baku sawah nasional,” kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan) Kuntoro Boga Andri, dalam rilisnya di Jakarta, kemarin.
Baca Juga:
Berdasarkan rilis BPS, tahun 2018 terdapat 7.105.145 hektare (ha) lahan baku sawah yang disahkan melalui Keputusan Menteri ATR/Kepala Badan Pertanian Nasional (BPN) Nomor 399/KEP-23.3/X/2018 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2018.
Hasil perhitungan ini didapat melalui Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan melakukan interpelasi dan delineasi lahan sawah melalui digitalisasi on screen menggunakan citra spot 6/7 dari LAPAN dan didukung data CSRT Ortho (Lapan dan BIG). Dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan, Kuntoro menyebutkan Kementan melakukan pengawalan verifikasi serta sinkronisasi lahan sawah dan penetapan peta lahan sawah yang dilindungi.
Kementan juga terlibat dalam pengawalan pengintegrasian lahan sawah yang dilindungi untuk ditetapkan menjadi Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan (LP2B) di dalam Perda RT/RW Provinsi/Kabupaten/Kota. Dengan demikian, UU 41/2009 dan peraturan turunannya dapat dilaksanakan lebih optimal.
“Yang terpenting dicatat, untuk menekan konversi lahan perlu upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Itu sebenarnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat atau Kementan, tapi juga semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah harus menerapkan lahan pertanian abadi yang diikat oleh peraturan daerah,” paparnya.
Upaya lain yang dilakukan Kementan untuk menekan konversi lahan yaitu pemberian insentif kepada kelompok tani maupun gabungan kelompok tani berupa sarana dan prasarana pertanian yang telah terintegrasi dalam program dan kegiatan-kegiatan Kementan. Petani mendapat pendampingan dan berbagai bantuan input produksi serta jaminan harga sehingga lahan pertanian terus dijaga.
Akademisi dari Universitas Tangjungpura (Untan) Radian memberikan acungan jempol terhadap ketegasan Mentan Syahrul yang memberikan perlawanan keras pada aktivitas alih fungsi lahan. Sebab, alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan lainnya akan berdampak pada tiga sisi negatif terhadap ketahanan pangan Indonesia.
Kerugian pertama, sebut Radian, alih fungsi lahan pertanian bakal membuat kesejahteraan petani menurun. Akibatnya, bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian. Jika tenaga kerja sebelumnya (petani) tidak mampu diserap semua, itu akan menambah angka pengangguran.
Kemudian sisi negatif kedua, Radian menjelaskan, semakin mengurangi ketersediaan pangan pokok yang dibutuhkan masyarakat. “Dampak negatif terakhir adalah terhadap lingkungan dan potensi dari lahan itu sendiri. Investor yang mengalihkan fungsi lahan pertanian dapat saja salah perhitungan sehingga menambah jumlah lahan tidur,” katanya.
(don)