Salah satu pendapat yang menonjol adalah sunnah atau sunnah muakkad bagi yang mampu. Maknanya bukan wajib bagi yang mampu.
Baca juga: Dalil-Dalil yang Mewajibkan Menyembelih Kurban Bagi yang Mampu
Inilah pendapat jumhur ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Hazm yang mengatakan tidak shahih dari seorangpun dari para sahabat yang menyatakan wajibnya. Yang benar, menurut jumhur, kurban itu tidak wajib. Dan tidak ada peselisihan, jika ia merupakan salah satu syi’ar agama” [Lihat Fathul Bari, op.cit (10/3)]
Ulama yang berpendapat dengan berpijak pada dalil sejumlah hadis.
Pertama, hadits Ummu Salamah, beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَتْ الْعَثْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَخِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ ثَعَرِهِ وَبَثَرِهِ ثَيْئًا
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban, maka jangan memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya” (HR Muslim no. 5089).
Imam Syafi’i dalam Majmu Syarhu Al-Muhadzdzab berkata: “Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa kurban tidak wajib, dengan dasar sabda Nabi (وَأَرَادَ ). Beliau menyerahkan kepada kehendak. Seandainya memang wajib, tentunya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan “maka janganlah memotong rambutnya sampai menyembelih”.
Pendapat yang mewajibkan, membantah dalil ini dengan menyatakan hadis ini bukan berarti menunjukkan tidak wajibnya kurban secara mutlak, karena kami mewajibkan dengan syarat mampu.
Demikian juga hadis ini dapat dipahami dengan makna orang yang ingin menyembelih dengan sebab memiliki kemampuan, maka jangan mengambil (memotong) rambut dan kukunya sampai menyembelih, dengan dalil riwayat lain yang diriwayatkan Imam Muslim yang tidak menyebutkan kata (وَأَرَادَ), yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلَ ذِيْ الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْ خُذَنَّ مِنْ ثَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَاره ثَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan disembelih dan tampak hilal Dzulhijjah, maka jangan memotong sedikitpun rambut dan kukunya sampai menyembelih” (HR Muslim No. 5093).
Baca juga: Masjid Istiqlal Tak Gelar Salat Ied, namun Tetap Adakan Pemotongan Hewan Kurban Terbatas
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa berkata: “Orang yang tidak mewajibkan, tidak memiliki nash dalam hal ini. Mereka menyatakan, kewajiban tidak disandarkan kepada kehendak (iradah). Demikian ini adalah pernyataan global, karena memang kewajiban tidak diserahkan kepada kehendak hamba, sehingga dikatakan jika kamu mau, berbuatlah.
Namun, terkadang kewajiban disandarkan kepada syarat untuk menjelaskan hukumnya, seperti firman Allah Azza wa Jalla.
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَة فَاغْسلُوا
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah” [Al-Maidah/5:6]
Dan mereka mengartikannya. Jika kalian ingin melaksanakan dan memaknakan. Jika ingin membaca Al-Qur’an, maka berta’awudz. Padahal thaharah, merupakan wajib, dan membaca Al-Qur’an dalam shalat wajib juga”
Kedua, hadis Jabir Radhiyallahu anhu, beliau berkata:
ثَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ بِكَبْثرٍ فَذَبَحَهُ رَسُو لُ اللّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللّهِ وَاللّه أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Ied Al-Adha di Mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung, dan berkata : “Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih)”
Syaikh Al-Albani berkata : Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud 2810 dan Tirmidzi 1/287, lihat Irwa Al-Gahlil 4/349 no. 1138
Mereka menyatakan: “Seandainya kurban diwajibkan, tentunya orang yang meninggalkannya berhak dihukum dan tidak bisa dianggap cukup. Lalu bagaimana dengan sembelihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut? Sehingga sabda beliau. (هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي) Yang disampaikan secara mutlak tanpa perincian ini merupakan dalil tidak wajibnya kurban.
Asy-Syaukani berkata: “Sisi pendalilan hadits ini dan yang semakna dengannya atas tidak wajibnya kurban ialah, secara dhahir menunjukkan bahwa kurban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya dan keluarganya, mencukupkan orang yang tidak menyembelih kurban, baik mampu atau tidak mampu.
Hal ini mungkin dijawab, bahwa hadis:
إِنَّ عَلَ كُلِّ أَهْلِ بَيْتِ فِي كُلِّ عَامِ أضْحِيَةَ مَا
Yang menunjukkan kewajiban menyembelih kurban bagi ahli bait yang mampu, menjadi indikator bahwa kurban Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut untuk orang yang tidak mampu saja.
Baca juga: Khutbah Idul Adha: Kurban sebagai Perwujudan Takwa
Seandainya benar yang disampaikan Al-Mudda’i (pendapat yang tidak mewajibkan), maka tidak dapat menjadi dalil tidak wajibnya kurban. Karena, titik perselisihannya adalah pada orang yang menyembelih untuk dirinya sendiri, dan bukan orang yang disembelihkan orang lain. Sehingga tidak wajibnya pada orang yang ada pada zaman Beliau dari umat ini, mengharuskan tidak wajibnya pada orang yang berada di luar zaman Beliau”
Ketiga, Atsar Abu Bakr dan Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sarihah Al-Ghifari, beliau berkata.
مَا أَدْرَكْتُ أَبَا بَكرِ أَوْ رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ كَانَا لاَ يُضَحِّيَانِ-فِي بَعْضِ حَديْثِهِمْ- كَرَاهِيَّةَ أَنْ يُقْتَدَى بِهِمَا
“Aku mendapati Abu Bakar atau melihat Abu Bakr dan Umar tidak menyembelih kurban –dalam sebagian hadits mereka- khawatir dijadikan panutan”
Hadis tersebut diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 9/295 dan dishahihkan Al-Albani. (Lihat Irwa Al-Ghalil Fi Takhrij Ahaadist Manaar Al-Sabil, karya Syaikh Al-Albani cetakan ke 2 tahun 1405H, Al-Maktab Al-Islami no. 1139 hal 4/355)
Seandainya kurban diwajibkan, tentu keduanya orang yang pantas mengamalkannya. Akan tetapi, keduanya memahami hukum kurban tersebut tidak wajib.
Pendapat yang Rajih Syaikh Muhammad Al-Amin Al-Syinqithi berkata: “Saya telah meneliti dalil-dalil sunnah pendapat yang mewajibkan dan yang tidak mewajibkan, dan keadaannya dalam pandangan kami. Bahwa tidak ada satupun dalil dari kedua pendapat tersebut yang tegas, pasti dan selamat dari bantahan, baik yang menunjukkan wajib maupun yang tidak wajib”.
Kemudian Syaikh berkata: “Yang rajih bagi saya dalam perkara seperti ini, yang tidak jelas penunjukkan nash-nash kepada satu hal tertentu dengan tegas dan jelas adalah berusaha sekuat mungkin keluar dari khilaf. Sehingga, berkurban bila mampu, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah yang ragu kepada yang tidak ragu.“
Sepatutnya, seseorang tidak meninggalkanya bila mampu, karena menunaikannya itu sudah pasti menghilangkan tanggung jawabnya, Wallahu a’lam”
Yang rajih –wallahu a’lam– dalam permasalahan ini, yaitu pendapat jumhur ulama. Karena seandainya tidak ada satu pun dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaiahi wa sallam yang secara pasti menunjukkan rajihnya salah satu pendapat tersebut, namun amalan Abu Bakr dan Umar dapat dijadikan faktor yang dapat merajihkan pendapat jumhur. Sebab hal ini merupakan pengamalan perintah Rasulullah dalam hadits Irbadh bin Sariyah yang berbunyi.
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسَنَّةِ ا لْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
“Sungguh, barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, maka akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya untuk memegangi sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rasyidin”.
Keduanya termasuk dari Khulafa Ar-Rasyidin menurut kesepakatan kaum muslimin. Hal ini juga dikuatkan dengan hadis lainnya yang diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz:
فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ يَرْشُدُوا
“Karena jika mereka mengikuti Abu Bakr dan Umar, niscaya mendapati petunjuk”.
Juga adanya riwayat atsar dari Ibnu Umar, Abu Mas’ud Al-Anshari dan Ibnu Abbas yang menunjukkan tidak wajibnya kurban. Wallahu a’lam.
Baca juga: Khutbah Idul Adha Masa Pandemi: Membangun Keluarga Harmonis