Negara seringkali gagap dalam kasus terkait gender, yang malah menempatkan korban sebagai tersangka. Foto/StockSnap
Dijelaskan bahwa sang ibu ditangkap oleh polisi, padahal ia adalah korban kekerasan rumah tangga.
Cuitan tersebut tentu memunculkan banyak reaksi atas keterlibatan pihak berwenang yang menggunakan kekuasaan koersifnya. Mereka justru menangkap korban kekerasan, bukan pelakunya.
Foto:Twitter @GeorgeNewHouse
Baca Juga:
Alih-alih diperlakukan sebagai korban, polisi memperlakukan perempuan tersebut sebagai pelaku. Hal itu tentu memberikan konsekuensi yang sangat tragis untuk bayinya. Ia tidak diasuh dengan baik oleh polisi hingga akhirnya harus berujung kematian.
Terkait kasus ini, ada istilah yang dinamakan carceral feminism. Iniadalah upaya untuk menggunakan hukuman penjara pada kasus yang berhubungan dengan isu gender . Gerakan ini melihat upaya institusi negara, seperti polisi sebagai solusi yang tepat untuk mengatasi isu kekerasan berbasis gender .
Selain itu, gerakan ini juga punya keyakinan bahwa hukuman penjara yang lebih keras dan lama akan membantu menyelesaikan masalah kekerasan berbasis gender. Fokus pada gerakan ini adalah penangkapan pada korban, bukan pelaku kekerasan yang sesungguhnya.
AWAL MULA CARCERAL FEMINISM
Foto:Barnard Edu
Frasa ini pertama kali dimunculkan oleh Elizabeth Bernstein, profesor studi perempuan dan sosiologi di Barnard. Frasa ini muncul dalam artikelnya yang terbit pada 2007 berjudul “ The Sexual Politics of the 'New Abolitionism '”.
Elizabeth menggambarkan carceral feminisme sebagai kegagalan untuk mengatasi kondisi ekonomi yang menjadi akar dari kekerasan gender. "Neoliberalisme telah membentuk perubahan "carceral" dalam gerakan advokasi feminis yang sebelumnya diselenggarakan untuk memperjuangkan keadilan," tulisnya.
Baca Juga: 9 Istilah dalam Feminisme yang Perlu Kamu Tahu
ALASAN GERAKAN INI BANYAK DITENTANG
Foto: Getty Images
Seperti kasus di atas, dapat dilihat bahwa terkadang hukum yang dibuat negara tidak bisa melindungi korban dan keluarga. Justru korban yang mendapatkan hukuman, sementara pelaku masih bebas berkeliaran.
Selain itu, negara juga digadang-gadang melakukan pelecehan dan kontrol secara paksa terhadap perempuan atau kaum minoritas yang berstatus sebagai korban. Apabila korban dipenjara dan tidak mendapatkan perlakuan yang sesuai, tentu akan timbul trauma berkepanjangan atas perbuatan yang ia terima.
Penyelesaian kasus dengan menggunakan carceral feminismjuga dikatakan sangat berpusat pada pola pikir orang kulit putih (white-people centrist). Bagi orang kulit berwarna, terkadang putusan pengadilan dapat merugikan mereka apabila berstatus sebagai korban.
TINDAK KEKERASAN LEBIH RENTAN DILAKUKAN OLEH POLISI
Foto: Getty Images
Melansir dari Vox , studi telah menemukan bahwa sekitar 40% keluarga dari polisi justru mengalami kekerasan dalam rumah tangga, lebih tinggi daripada 10% keluarga dalam populasi umum. Selain itu, ditemukan tindakan dari petugas polisi yang justru melakukan pemerkosaan dan penyerangan seksual terhadap orang-orang yang mereka tangkap.
SAINGAN GERAKAN INI ADALAH ABOLITION FEMINISM
Foto: A1
Untuk saat ini, sistem yang dimiliki oleh kepolisian terkadang tidak dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalah. Hal tersebut mendorong para aktivis untuk mempertimbangkan masalah dari perspektif keadilan sosial daripada keadilan berbasis hukum. Gerakan ini disebut dengan abolition feminism.
Abolition feminism memiliki tujuan agar kita sadar bahwa negara juga turut menyebabkan kekerasan. Untuk benar-benar mengakhiri kekerasan, kita membutuhkan strategi yang menanganinya dalam segala bentuk, bukan hanya dari satu sudut pandang.
Melansir dari ethicalunicorn , gerakan ini dipengaruhi oleh beberapa tokoh feminis, seperti Angela Davis, Ruth Wilson Gilmore, dan Patricia Hill Collins. Di Inggris, organisasi seperti Organisasi Perempuan Afrika dan Keturunan Asia (OWAAD) dan Grup Perempuan Kulit Hitam Brixton, berkampanye pada 1970-an dan 1980-an untuk melawan kekerasan dan pelecehan oleh polisi.
Pada masa sekarang, ketimpangan hukum masih terjadi bagi orang-orang minoritas. Oleh karena itu, penyelesaian masalah dengan carceral feminism sangatlah riskan bagi mereka.
Baca Juga: 5 Film tentang Para Perempuan Melawan Diskriminasi
Apabila dilaksanakan, gerakan ini tentu juga harus diimbangi dengan keadilan hukum, yaitu memenjarakan pelaku yang tepat dan melindungi korban. Selain itu, korban juga harus dipenuhi pemulihan mentalnya oleh negara. Sistem memenjarakan korban yang salah tentu harus diperbaiki secepatnya.
Alifia Putri Yudanti
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Twitter: @shcsei
(ita)