Kedua perusahaan itu telah menandatangani perjanjian awal (Heads of Agreement) dengan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) pada bulan lalu guna menghasilkan nilai tambah dari produk nikel Antam. Lalu apa yang menyebabkan nikel di Indonesia begitu diburu oleh para raksasa produsen baterai buat mobil listrik itu sampai-sampai nama Batang, Jawa Tengah jadi mendunia? (Baca juga : Apple dan Porsche Siapkan Kabin Taycan Jadi Studio Karaoke)
Elon Musk, CEO Tesla di ajang Battery Day pada September lalu mengatakan penggunaan nikel sebagai bahan baku baterai mobil listrik merupakan salah satu solusi agar harga mobil listrik jadi lebih kompetitif. "Saat ini sudah sangat kritikal bagi kami untuk membuat mobil listrik yang memang bisa dimiliki semua orang," ucap Elon Musk.
Belakangan Tesla dan berbagai produsen mobil listrik lainnya memang masih menggunakan baterai yang dibuat dari bahan baku utama kobalt. Diketahui kobalt merupakan material yang sangat mahal. Situs mining.com menyebutkan harga kobalt metrik per ton mencapai USD30.000 atau setara Rp433,7 juta per ton.
Bahkan menurut situs yang sama, harga kobalt metrik per ton pada Maret 2018 malah pernah mencapai USD100.000 atau setara Rp1,4 triliun. Harga yang fantastis inilah yang membuat harga mobil listrik begitu tinggi karena memang bahan utama penggerak mobil listri itu, yakni baterai memiliki harga yang sangat mahal. "Untuk meningkatkan volume, harga yang terjangkau adalah syarat utama," kilah Elon Musk.
Dari situlah Elon Musk kemudian mencoba sumber daya baru yang memang bisa dioptimalkan untuk menjadi baterai. Dari segi harga nikel memang lebih kompetitif ketimbang kobalt. Untuk metrik per ton nikel harganya mencapai USD15.707 atau setara Rp227,1 juta. Bahkan tersiar kabar harga nikel di Indonesia malah lebih kompetitif lagi dibandingkan harga pasaran di dunia. Artinya Tesla, LG Chem dan CATL bisa memangkas biaya produksi hampir setengah harga biaya produksi dengan kobalt.
(Baca juga : Butuh Tiga Tahun Malaysia Hadirkan Mitsubishi Xpander, Kenapa?)