loading...
Ironisnya, korban berinisial NF sedang dititipkan di rumah aman karena telah mengalami pelecehan seksual sebelumnya. Selain diduga memperkosa, DA juga menjual korban ke lelaki hidung belang. Kasus ini membetot perhatian karena terjadi di tempat yang seharusnya memberikan rasa aman dan perlindunganan terhadap korban.
“ICJR mendorong seluruh pemangku kebijakan yang terkait di dalam perlindungan korban segera bergerak secara sinergis. Pemulihan yang diberikan tidak harus menunggu proses hukum berjalan,” ujar peneliti ICJR Genoveva Alicia, Selasa (7/6/2020).
Baca Juga:
(Baca: ICJR Minta Aparat Usut Dugaan Pemerkosaan di P2TP2A Lampung Timur)
Genoveva mengatakan proses pemulihan psikologis korban harus segera dilakukan. Korban harus didampingi hingga proses hukum selesai.
ICJR meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Pemda Lampung Timur turun tangan langsung untuk memastikan pemenuhan hak korban berjalan baik. Pemerintah, katanya, tidak bisa lagi menempatkan korban di P2TP2A.
“Tidak hanya pemda, peristiwa ini menjadi cambuk bagi pemerintah pusat. Presiden dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) harus mengevaluasi unit pelayanan teknis di seluruh Indonesia,” tutur Genoveva.
Dia menerangkan evaluasi harus dilakukan secara komprehensif. Jangan sampai hanya mengenai disiplin administrasi dan formal birokrasi atau fasilitas fisik saja. Namun, pemerintah harus membenahi kapasitas dna kualitas pemulihan korban yang diberikan setiap uni pelayanan.
(Baca: Menteri PPPA: Tindak Tegas Pelaku Kekerasan Seksual Anak di Lampung Timur)
Berdasarkan temuan Komnas Perempuan pada 2017, cara kerja dan waktu pelayanan di sebagian besar P2TP2A melihat korban kekerasan sebagai persoalan keseharian biasa. Bukan melihat korban sebagai subyek marginal yang berhak mendapatkan dukungan negara.
“Komnas Perempuan menemukan bahwa tidak terdapat satu pun P2TP2A yang memiliki kebijakan-mekanisme khusus secara tertulis sebagai landasan bagi penanganan perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Padahal kasus kekerasan seksual membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif dan pendekatan khusus,” terang Genoveva.
Kementerian PPPA bertanggung jawab atas advokasi dan sosialisasi kebijakan perlindungan anak. Menurut Genoveva, advokasi yang komprehensif tidak akan terlaksana tanpa evaluasi yang jelas. Kementerian PPPA harus segera turun dan menyediakan tools untuk memeriksa kualitas pendampingan.
“Negara harus menyadari bahwa kewajiban penyediaan layanan pemulihan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual bukan hanya formalitas. Evaluasi penting dilakukan untuk memastikan layanan berkualitas, komprehensif dan berdampak pada korban,” pungkasnya.
(Fahmi Bahtiar)
(muh)