Artinya, para kepala daerah diberi otonomi penuh terkait perubahan APBD. Landasan yuridisnya adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Baca juga:
Ilmuwan Ciptakan 'Jari Buatan' untuk Diagnosis dan Tangkap COVID-19
Perppu tersebut kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 .
"Jawa Barat pun untuk pertama kalinya melakukan perubahan APBD murni hingga lima kali. Semua perubahan itu dikaitkan dengan penanggulangan wabah yang semula berasal dari Wuhan-Cina tersebut," ujar Anggota DPRD Jabar, Daddy Rohanady, Kamis (11/2/2021).
Menurut Daddy, perubahan tersebut menggeser alokasi anggaran di semua organisasi perangkat daerah (OPD) yang jumlahnya triliunan rupiah untuk penanganan kesehatan dan jaring pengaman sosial (social safety net). "Jawa Barat, seperti halnya beberapa daerah lain, tergolong daerah yang terdampak COVID-19 cukup parah. Di sisi lain banyak program/kegiatan yang masih membutuhkan pembiayaan," katanya.
Di tengah kondisi itu, lanjut Daddy, PT Sarana Multi Infrasruktur (SMI), salah satu perusahaan plat merah di bawah Kementerian Keuangan menawarkan utang untuk mengatasi fiscal gap tersebut. "Jadilah pertama kali dalam sejarah ada nomenklatur baru dalam struktur APBD: Pinjaman Daerah alias utang," ujarnya.
Sejatinya, utang tersebut dilakukan dalam konteks pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pasalnya, Jabar ditawari utang karena dianggap terdampak COVID-19 cukup parah.
"Ada satu faktor lagi sebenarnya yang membuat utang itu terjadi, yakni kepala daerah dan DPRD-nya menerima tawaran utang tersebut. Andai satu dari dua pihak itu tidak mau menerima berutang sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah, pasti tak akan ada nomenklatur Utang dalam APBD Jabar. Sayangnya hal itu tidak terjadi. Namun, tidak berarti keputusan tersebut tanpa perdebatan alot," papar dia.