Pengamat Telekomunikasi Heru Sutadi menjelaskan buzzer terbagi menjadi dua kategori. Pertama disebut buzzer bayaran atau komersil dan kedua tidak dibayar atau organik.
"Nah, biasanya yang dibayar ini nggak jelas dan yang tidak dibayar sebaliknya, misalnya ada tokoh yang buat status di Twitter lalu di retweet secara suka rela,”ungkap Heru saat berbincang dengan SINDOnews, Rabu (10/2/2021).
Baca Juga: Soal Ketakutan Kwik Kian Gie, Iwan Fals: Dulu Belum Ada Buzzer, Lancar Saja Kritik
Menurut dia biaya memelihara buzzer politik tidak murah. Heru menyebut mengelola buzzer politik biayanya sampai miliaran rupiah sesuai kontrak yang disepakati antara pengelola buzzer dengan pengguna jasa.
Di samping itu, pengelola buzzer juga harus membentuk tim untuk mengkonter isu-isu yang diinginkan oleh penyewa buzzer. Klien meminta agar pesan yang dibangun bisa diketahui khalayak ramai sehingga menjadi perbincangan di media sosial secara masif untuk membangun pencitraan tokoh politik untuk mencapai tujuan tertentu maupun citra partai politik.
Tidak hanya itu biasanya opiniopn leader memiliki jaringan luas dan terkenal. Setiap tim memiliki influencer dan cenderung terstruktur. Agar cepat diinformasikan ke publik buzzer memanfaatkan media sosial misalnya seperti Twitter, Facebook, Youtube, Blog, Instagram dan sekarang mulai ramai disebar di Tiktok.
Baca Juga: Kwik Kian Gie Ketakutan, Pemerintah Diminta Tertibkan Buzzer
Untuk melancarkan aksi pasukan buzzing menggunakan akun-akun palsu yang jumlahnya bisa sampai jutaan akun. "Nah, kalau digerakkan oleh tim biayanya cukup besar dan tergantung kontrak, isu dan topik yang harus diangkat. Itu bisa sampai miliaran," ungkapnya.