loading...
Tanaman obat atau rempah-rempah itu kini tengah dicari guna menjaga imunitas tubuh agar tidak mudah terinfeksi virus. Selain mudah ditemui, tanaman obat ini juga mudah ditanam tanpa penanganan khusus, bahkan bisa dilakukan di pekarangan rumah.
Rimpang-rimpangan atau tanaman akar yang tumbuh di dalam tanah misalnya, paling mudah ditanam orang. Sebut saja kunyit, temulawak, temu kunci, dan kunir putih.
Baca Juga:
Andhika Mahardika, founder Agradaya, sebuah social entreprise yang kerap mengedukasi masyarakat untuk menanam tanaman obat, menjelaskan bahwa tanaman rimpang (Rhizome) itu memang bisa menjadi bahan obat-obat tradisional, termasuk jamu. Namun, jenis tanaman ini butuh perhatian lebih.
”Terutama jahe, itu lebih sensitif terhadap ketinggian dan paparan cahaya matahari," ungkapnya.
Bagi yang fokus membudidayakan tanaman jahe, mereka biasanya menggunakan polybag supaya nutrisinya terkonsentrasi ke tanaman itu, sehingga hasilnya bisa lebih besar. Meskipun sedikit lebih sulit, jahe tetap bisa ditanam oleh masyarakat di halaman rumah. Bahkan, luas lahan pun 3x3 meter pun cukup untuk menanam berbagai jenis tanaman obat.
Sementara itu, jenis tanaman obat lain yang bentuk pohonnya lebih keras adalah cengkih dan kayu secang. Namun, kedua jenis tanaman obat ini hanya bisa ditanam di perkebunan atau hutan, sehingga, butuh orang-orang ahli yang bisa menanamnya seperti petani, tukang kebun, atau ahli tanaman keras.
Tanaman obat juga sebetulnya bisa menjadi potensi yang besar bagi masyarakat perdesaan. Salah satunya warga Desa Sendang Rejo, Kecamatan Minggir, Sleman, DIY. Tepatnya di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Andhika mengatakan, pihaknya membangun Agradaya yang fokus pada budi daya, pengembangan, dan pengolahan tanaman rempah atau biofarmaka. Tanaman biofarmaka adalah tanaman yang sangat bermanfaat untuk obat-obatan, kosmetik, dan kesehatan. Bagian yang sering dimanfaatkan dari jenis tanaman ini adalah daun, batang, buah, umbi (rimpang ), dan akar. Warga di Jawa Tengah, Jawa Timur, Timur, dan Yogyakarta menyebutnya empon-empon.
"Ketika saya dan istri pindah ke sini, kami berinisiatif membuat kegiatan yang melibatkan masyarakat guna mengembangkan potensi mereka. Setelah survei, hasil rempah mereka melimpah," ungkapnya.
Penghasilan petani rempah-rempah yang menjadi mitra Agradaya pun kini meningkat karena berhasil mengolah hasil panen. Petani yang mayoritas berasal dari Kulonprogo ini diedukasi untuk mengolah tanaman obat dengan cara dikeringkan. Pasalnya, selama ini hasil tanaman obat dalam bentuk rimpang atau masih utuh dari panen jika dijual dengan harga hanya Rp2.000-3.000. Berbeda jika dikeringkan, harganya bisa mencapai 300% lebih tinggi.
"Pengeringan dilakukan oleh alat bernama solar dryer atau rumah surya. Hasil panen rempah dibersihkan kemudian diiris berukuran 3-5 mm dan dimasukkan ke alat tersebut. Rumah surya fungsinya seperti oven, tapi tidak menggunakan gas atau listrik, melainkan dari sinar matahari dan biomassa," jelas Andhika.
Hasil rempah yang sudah dikeringkan tersebut kemudian dijual ke Agradaya untuk kembali diproses menjadi serbuk kasar dan halus, yang kemudian dikemas untuk bisa dijual ke seluruh Indonesia. Bagi masyarakat kota, rempah-rempah versi bubuk menjadi favorit karena kemudahan untuk dikonsumsi. Rempah serbuk memang memiliki masa hidup produk yang lebih lama, idealnya hingga dua tahun.
Agradaya sendiri kini sudah memiliki 317 mitra petani yang menghasilkan jahe, kunyit, temulawak, daun salam, kapulaga, secang, dan cengkih. Bahkan, mereka tengah mengembangkan kunir putih, temu kunci, temu mangga, temu ireng yang masih dalam tahap riset dan pengembangan.
Petani yang menjadi mitra kebanyakan para ibu rumah tangga yang memanfaatkan halaman rumah mereka sebagai media untuk menanam tan aman ohat. Tim Agradaya mengajak masyarakat dengan mengawali memberi edukasi manfaat dari tanaman. Menggandeng seorang dokter umum yang metode medisnya melakukan pencegahan dengan bahan alam termasuk rempah-rempah.
”Kami mengedukasi masyarakat tidak semata mata untuk menjadi mitra. Pertama, kami mengajak mereka menjadi petani untuk kesehatan keluarga. Baru jika mereka berlebih suplai bisa diproses untuk dijual," jelasnya.
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien positif virus korona di Indonesia, hingga saat ini Agradaya kewalahan mencari bahan baku. Produk yang paling laku adalah varian teh rempah campuran dari kunyit, jahe, temulawak, dan kapulaga.
"Padahal sebelum ada virus ini, teh herbal itu paling tidak diminati karena rasanya cenderung pahit. Sekarang banyak orang mencari tanaman-tanaman tersebut. Mereka tidak memikirkan rasa, tapi yang terpenting manfaatnya," sebut Andhika.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mengajak masyarakat untuk kembali ke alam. Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional, misalnya, memiliki program ASMAN TOGA atau Asuhan Mandiri Tanaman Obat Keluarga. Sosialisasi dilakukan melalui posyandu, sehingga lebih dirasa dekat dengan masyarakat. Keluarga Indonesia juga diminta untuk memiliki tanaman-tanaman obat di halaman rumah mereka.
Selain itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Kemenkes juga memberikan edukasi kepada masyarakat selain tugas utama mereka melaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional.
Kepala B2P2TOOT Akhmad Saikhu menjelaskan, mereka mengedukasi masyarakat agar memanfaatkan halaman rumah dengan tanaman lekat pekarangan. "Masyarakat yang hanya mempunyai tanah terbatas di sekeliling rumahnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, yaitu memelihara kesehatan secara mandiri dengan memanfaatkan tanaman obat. Selebihnya untuk meningkatkan pendapatan keluarga," ungkapnya.
Kegiatan penelitian juga selalu melibatkan peran serta masyarakat seperti di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pada 2016-2017. Program B2P2TOOT yang dilaksanakan bekerja sama dengan BKSDA Jatim, guna mengedukasi masyarakat sekitar hutan lindung agar membudidayakan tanaman obat secara mandiri, tanpa merambah hutan lindung.
Saikhu menambahkan, hasil Ristoja (Riset Tanaman Obat dan Jamu) yang dilakukan di seluruh kawasan Indonesia, mendapatkan informasi tanaman yang berkhasiat sebagai tanaman obat yang potensial bisa dikembangkan di masing-masing daerah di seluruh Indonesia. Ini sudah dipetakan nama tanaman, lokasi, dan manfaat yang biasa dipergunakan untuk pengobatan tradisional oleh masyarakat seluruh etnis di Indonesia.
Penelitian tersebut membuktikan bahwa Indonesia sangat kaya raya dengan tanaman berkhasiat obat yang dipergunakan secara turun-temurun. "Kini, tinggal membuktikan satu per satu jenis tanaman obat tersebut secara ilmiah, dari segi manfaat dan keamanannya, juga potensi pengembangan industrinya nanti," ungkapnya.
Misalnya saat ini B2P2TOOT tengah meneliti lebih lanjut terkait jenis tanaman obat mana saja untuk penyakit malaria dan antikanker. Dunia akademik juga tidak mau kalah untuk membuat gerakan agar masyarakat menanam tanaman obat di halaman rumah mereka.
Kepala Pusat Studi Biofarmaka IPB Irmanida Batubara mengatakan, IPB memiliki program Tanaman Obat Mandiri. "Berbeda dengan program Kemenkes, kami mengajak setiap rumah menanam tanaman obat sesuai kebutuhannya. Misalnya ada anggota keluarga yang sakit diabetes, mereka menanam tanaman untuk obat diabetes," jelas Irmanida.
Diabetes ada kemungkinan untuk diturunkan kepada anggota keluarga, sehingga memang keluarga tersebut membutuhkan. Perawatan tanaman obat pun akan dilakukan secara maksimal. "Kami juga melihat dari psikologis menyenangkan jika bercocok tanam. Ada self healing sendiri saat menanam, rasa senang ketika tanaman yang kita tanaman tumbuh semakin tumbuh. Ini menjadi hal baik untuk yang sakit," tandasnya. (Ananda Nararya)
(ysw)