Thursday, November 21, 2019

Silakan Kritik Saya Sebagaimana Saya Lakukan saat di Luar Pemerintahan

0 comments

loading...

Mahfud MD ditunjuk Presiden Joko Widodo menjabat menko polhukam. Kepercayaan tersebut diberikan tentu berdasar kredibilitas dan pengalaman di kabinet era sebelumnya, termasuk di Mahkamah Konstitusi (MK). Lantas bagaimana dia merespons amanat ini dan tugas pokok apa yang akan dilakukan, berikut wawancara dengan KORANSINDO:

Sudah hampir sebulan Anda menjadi menteri, apa saja yang sudah Anda lakukan?

Saya pada awal-awal menjabat ini, saya mengenal dulu profil kementerian itu. Saya mengenal apa tugasnya secara konstitusional, mengenal organisasi ini, orang-orangnya seperti apa, lalu dikaitkan dengan tugas pokok. Itu selama tiga minggu.

Tapi, sejauh menyangkut substansi tugas, saya sudah melakukan rapat beberapa kali. Pertama rapat dengan kementerian, mengundang semua menteri atau lembaga setingkat menteri yang di bawah Kemenkopolhukam. Kemudian rapat dengan Presiden sudah rapat terbatas beberapa kali. Artinya, sudah cukup bagi saya untuk mengenal tugas-tugas yang harus dilakukan ke depan.

Apa yang Anda rasa beda sebelum sebagai menteri dan sekarang menjadi bagian dari pemerintah?

Baca Juga:

Sebelum saya jadi menkopolhukam, saya bisa bicara sebagai pengkritik. Kalau sekarang sebagai pelaksana kebijakan sehingga sekarang teman-teman saya yang berada di luar pemerintahan, silakan mengkritik saya sebagaimana saya lakukan ketika saya ada di luar.

Kedua tentu dimensi etis. Saya kan pembantu Presiden. Presiden itu punya visi dan misi. Ketika saya menyatakan bersedia menjadi menteri di bawah Presiden, maka saya harus sama visinya dengan yang digariskan oleh Presiden. Nah, itulah cara kita berpemerintahan.

Sebelumnya Anda pernah juga sebagai ketua MK, dan sekarang jadi menkopolhukam, apa tantangan yang berbeda?

Tantangannya, ya sama saja bagi saya, cuma beda fokus saja. Kalau jadi ketua MK, kan memutus. Kalau sekarang, pertama menertibkan situasi politiknya, yang kedua memuluskan proses-proses hukumnya agar berjalan baik sesuai yang digariskan Presiden kepada saya.

Tapi, kalau tantangan dalam arti situasi politik yang dihadapi, sama saja. Cuma barangkali sekarang jadi menkopolhukam itu lebih protokolernya itu lebih ketat. Kalau dulu sebelum jadi menkopolhukam kan bisa ke mana saja sendirian.

Sebagai menkopulhukam, tugas pokok apa yang akan Anda lakukan?

Pertama, soal indeks penegakan hukum yang harus ditingkatkan, sekarang masih 49,1. Indeks persepsi ini harus diubah. Kemudian, pemberantasan korupsi itu harus benar-benar menjadi prioritas diberantas. Di masyarakat sedang kontroversi apakah kita melemahkan atau menguatkan, terlepas revisi UU KPK, Presiden komitmennya menguatkan.

Cuma yang selama ini menerjemahkan di tingkat birokrasi narasinya lemah. Saya ditugaskan meningkatkan persepsi itu, terlepas revisi UU tadi. Sebab itu, Presiden selalu mengatakan, ‘Saya ingin pemberantasan korupsi itu satu aja, KPK. Kejaksaan gak usah.’ Korupsi itu KPK saja, itu keinginan Presiden. Tapi, di negara demokrasi seperti ini, Presiden kan tidak bisa berjalan sendiri.

Ketiga, perlindungan hak asasi, termasuk menyelesaikan kasus-kasus yang lama dan menjaga agar tidak terjadi lagi pelanggaran-pelanggaran yang selama ini dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah. Lalu, keempat, radikalisasi. Itu yang disampaikan presiden kepada saya, lalu saya coba terjemahkan ke dalam berbagai kebijakan.

Saya komunikasikan satu persatu kepada menteri terkait. Saya sudah bicara dengan jaksa agung, polisi (kapolri), (panglima) TNI, sudah bicara masalah-masalah itu semua. Kita kan koordinator, jadinya menyerasikan semua langkah-langkah di bawah satu payung visi Presiden yang disebut Nawacita.

Tugas-tugas tersebut tentu berat dan membutuhkan sinergitas dengan kementerian lain?

Hampir semua (membutuhkan sinergitas). Misalnya penegakan hukum dan korupsi, itu kan terjadi di berbagai sektor, berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi malah kan yang banyak. Kalau sinergitas, ya semuanya. Mungkin yang akan menimbulkan kontroversi publik harus diberi pengertian baik-baik adalah soal deradikalisasi karena deradikalisasi itu ada dua hal.

Pertama, orang mempersoalkan definisinya. Ada dua definisi. Satu definisi umum misalnya korupsi. Setiap orang yang melanggar aturan, sewenang-wenang, menyalahgunakan jabatan, itu korupsi namanya. Tapi, dari sisi hukum, korupsi itu perbuatan yang memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Itu korupsi.

Radikal juga begitu, yang umum itu bagus. Misalnya setiap upaya untuk mengurai substansi sampai akar-akarnya sehingga jelas, itu radikal yang baik. Tapi, ada radikal juga, satu sikap untuk membongkar sesuatu yang sudah mapan dengan cara kekerasan dan melawan hukum. Itu radikal.

Radikal dalam pengertian hukum, ya yang itu. Kalau kita memerangi radikalisme, ya itu yang diperangi. Orang mau membongkar sesuatu yang sudah mapan. Ideologi negara yang sudah disepakati, Pancasila, konstitusi yang sudah disahkan, lalu dianggap harus dibongkar dengan cara kekerasan bahwa ini salah dan dilawan dengan kekerasan bahwa ini menyesatkan.

Radikal itu ada tiga. Satu, menganggap orang lain selalu salah, itu takfiri. Kedua, jihadis, orang membunuh orang lain. Itu jihadis. Ketiga, wacana ideologis. Dan cara mengatasinya beda-beda.

Baru-baru ini ada pernyataan dari Habib Rizieq bahwa pemerintah melakukan pencekalanseperti apa sebenarnya?

Kalau secara yuridis, kita anggap gak ada masalah, kan sudah tahu over stay kok dibiarkan. Kan itu tugas Pemerintahan Arab Saudi. Kedua, dia juga tak pernah melapor ke kita, masalahnya apa? Kalau lapor, kan bisa diurai satu per satu.

Saya pernah bicara dengan Presiden, kenapa sih HRS ini ribut-ribut gak bisa pulang. Presiden bilang, kalau mau pulang, ya pulang saja, wong kita juga gak pernah menyuruh pergi. Artinya, memang tidak ada pencekalan di situ.

Ada anggapan bahwa Pemerintah Indonesia tutup mata dalam kasus Habib Rizieq?

Ya, tutup mata gimana, wong kita juga sudah menjawab. Saya paling tidak sudah pernah mengatakan, mana surat pencekalannya? Ini lapornya di YouTube, lapornya di medsos. Lapor ke saya saja. Kalau gak ke saya, ya lapor ke Pak Agus Maftuh, duta besar RI di Arab Saudi.

Dia juga saya telepon, (bilang) gak pernah ada laporan Pak. Bilang begitu. Orang kalau misalnya ada sopir taksi dari Indonesia ditabrak mobil, lapor saja, kita urus. Ada orang dijatuhi hukuman mati, kita urus karena lapor.

Mbok lapor saja, kenapa sih? HRS gak pernah datang ke KBRI. Gak pernah menyampaikan masalahnya. Saya sudah pernah telepon Pak Agus Maftuh, gak pernah ada laporan. Kita dari Kedutaan Arab Saudi juga gak pernah ada laporan diplomatik tentang adanya orang yang dicekal gitu.

Lalu, saya berkesimpulan, urusannya berarti bukan dengan Pemerintah Indonesia, tapi dengan Pemerintah Arab Saudi begitu. Mari kita tunggu perkembangannya. Kalau mau pulang, ya pulang saja, kenapa sih, begitu. Kalau mau minta bantuan, ya kita bantu asal jelas surat pencekalannya. Jangan suruh kita mencari Habib Rizieq, kita tidak tahu juga di mana dia berada. Dia yang harusnya datang ke KBRI begitu.

Salah satu yang juga menjadi PR pemerintah adalah soal penegakan HAM masa lalu. Bagaimana pemerintah menyikapi ini?

Dulu kita sudah punya UU KKR, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tetapi, karena konstruksi hukumnya dianggap salah oleh MK waktu itu, Pak Jimly dibatalkan, tetapi ada pesan dalam putusan itu agar segera diperbaiki.

Pada zaman Pak SBY itu sudah diperbaiki, tetapi masih ada menteri yang belum setuju dengan bagian-bagian isinya, kemudian tidak pernah dibahas lagi. Menurut saya, untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu, UU KKR ini perlu dihidupkan karena MK juga menyatakan supaya diperbaiki. Cuma dulu macet.

Begini lho, kasus masa lalu yang akan terkena penyelesaian dengan UU KKR itu, misalnya, kasus yang korbannya sudah tidak ada, pelakunya tidak ada, buktinya juga sudah tidak ada, tetapi selalu menjadi isu politik setiap lima tahun.

Ya, marilah kita selesaikan. Jangan yang begini-begini hanya melelahkan kita setiap ada pesta politik, setiap ada peristiwa, lalu itu dihidupkan lagi. Ke depannya itu seluruh anak bangsa bersatu saja gitu, sudah lupakan masa lalu.

Bagaimana upaya penindakan hukumnya?

Kalau KKR itu bukan ditindak, tapi diungkap kebenarannya seperti apa, lalu rekonsiliasi. Yang mau ditindak itu siapa? Misalnya (peristiwa G 30 S PKI) tahun 65, orangnya sudah tidak ada, pelakunya juga sudah pada meninggal, yang jadi korban juga sudah tidak ada sehingga tidak ada yang menjadi saksi.

Peristiwa tahun 65 itu kalau kasus politiknya yang bukan orang per orang, itu kan sudah diputus oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Pengadilannya berdasar undang-undang. Mahkamah Militer Luar Biasa itu dulu dibentuk Bung Karno pada tahun 63, lalu sesudah terjadi peristiwa 65, digunakan oleh Pemerintah Orde Baru undang-undang itu.

Dan, itu sudah selesai sebenarnya kalau pelaku-pelakunya dan sudah ada dokumen-dokumen hukumnya. Nah, sekarang orang kan bicara korban yang keturunannya, keluarganya. Nah, itu cara mengungkapnya bagaimana, kemudian lalu ada UU KKR. Sudahlah, kita urai faktanya seperti ini, lalu sesudah itu rekonsiliasi karena itu sudah selesai.

Sebagai menko polhukam, Anda memiliki hak veto seperti yang disebutkan Presiden. Seperti apa hak veto yang dimaksud?

Jadi hak veto yang pernah ramai di awal pemerintahan sesudah rapat kabinet itu bukan istilah hukum ya sebenarnya. Itu istilah politik yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Hak veto itu disampaikan oleh Presiden Jokowi yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi, didengarkan oleh semua menteri kabinet pada tanggal 24 Oktober, sehari sesudah pelantikan.

Presiden mengatakan, visi Indonesia ini untuk pemerintahan ke depan hanya ada visi Presiden dan Wakil Presiden. Tidak boleh ada visi menteri. Oleh sebab itu, menteri-menteri harus berfungsi semua. (Kata Presiden), saya tidak ingin mendengar lagi ada menteri dipanggil oleh menko, tidak datang ke sidang, rapat.

Sesudah diputuskan, dia tidak melaksanakan keputusan dengan alasan dia tidak hadir, padahal sudah diundang. Maka, Presiden mengatakan itu, sekarang para menko itu boleh melakukan veto terhadap kebijakan menteri yang bertentangan dengan visi presiden atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau yang berbenturan satu sama lain sehingga macet.

Yang satu ingin ke Barat, yang satu ingin ke Timur. Kan di situ ada menko. Jadi (hak veto) itu istilah administrasi aja, mekanisme, bukan istilah hukum, lalu veto, lalu batal begitu. Enggak begitu.

Tapi, bisa kan seorang menko membatalkan kebijakan menteri di bawah koordinasinya jika dinilai tidak sesuai dengan visi-misi Presiden?

Kalau mau dibatalkan, bisa, tapi bukan (oleh) menko, melainkan menko minta ke Presiden. ‘Pak Presiden ini ada begini, tolong bagaimana arahan Bapak’. Kita lalu bisa melakukan pelurusan. Kalau menurut perpres, veto itu bisa diambil dari satu term yang ditulis dalam perpres kemenkoan itu ditulis begini, menteri koordinator itu berfungsi untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian.

Nah, pengendalian itu bagian dari itu adalah membatalkan kalau memang bertentangan satu sama lain. Tetapi, sampai saat ini tak ada yang bertentangan. Nyaman-nyaman saja kami ini. Kalau suatu saat terjadi, mungkin itu bisa digunakan.

Kalau sekarang ini semua berjalan bagus, kompak, bahkan dalam sidang-sidang kabinet lintas bidang, yang menteri perekonomian bisa bersatu dengan menteri politik, tukar pikiran bagaimana saya punya (masalah) ini tolong politik diamankan agar tidak kisruh, hukumnya juga saling mendukung. Sekarang ini karena visinya diletakkan di bawah visi Presiden dan Wapres.

(don)

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment