loading...
Majelis hakim dipimpin Franki Tambuwun dengan anggota Emilia Djajasubagja, Rosmina, Anwar, dan Sukartono, menilai Markus Nari telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam dua delik.
Pertama, Markus Nari selaku anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 secara bersama-sama dengan sembilan orang dan melawan hukum telah memengaruhi proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) Tahun Anggaran 2011-2013 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Baca Juga:
Perbuatan Nari bertujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam proyek e-KTP dengan anggaran lebih dari Rp5,9 triliun sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp2.314.904.234.275,39. Dalam proyek e-KTP, Nari telah memperkaya diri sebesar USD400.000.
Uang ini berasal dari terpidana Direktur Utama PT Quadra Solutions kurun 2012-2013 Anang Sugiana Sudihardjo melalui terpidana Sugiharto, pejabat pembuat komitmen dan direktur pengelolaan informasi administrasi kependudukan (PIAK) Kemendagri.
Kedua, Markus Nari telah dengan sengaja mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi saat itu Miryam S Haryani dan terdakwa saat itu Sugiharto, dalam perkara korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik tahun anggaran 2011-2012 pada Kemendagri atas nama dua terdakwa saat itu Irman dan Sugiharto.
Perbuatan Nari bertujuan memengaruhi Miryam guna memberikan keterangan palsu serta memengaruhi Sugiharto agar tidak menyebutkan nama Nari sebagai pihak yang ikut diuntungkan atau menerima dana terkait proyek e-KTP.
Majelis hakim menilai perbuatan Nari telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUH Pidana sebagaimana dalam dakwaan pertama untuk perkara korupsi, serta telah melanggar Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor sebagaimana dalam dakwaan kedua alternatif pertama.
“Mengadili, memutuskan, menjatuhkan pidana. Oleh karena itu, kepada terdakwa Markus Nari dengan pidana selama 6 tahun dan pidana denda selama Rp300 juta bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 3 bulan,” tandas Ketua Majelis Hakim Franki Tambuwun di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin.
Franki membeberkan bahwa terhadap Nari maka majelis juga memutuskan menjatuhkan dua pidana tambahan. Pertama, membayar uang pengganti sebesar USD400.000, dengan ketentuan bila tidak dibayar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap Nari tidak dapat membayar, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.
“Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar uang pengganti maka terdakwa dipidana penjara selama dua tahun,” ujarnya. Kedua, pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Pencabutan tersebut didasarkan beberapa hal. Masing-masing karena saat melakukan perbuatan pidana Nari merupakan anggota DPR, perbuatannya telah mencederai kepercayaan masyarakat, tidak memberikan teladan yang baik, dan untuk melindungi masyarakat dari calon pejabat publik yang pernah dipidana akibat perkara korupsi.
“Mencabut hak terdakwa menduduki jabatan publik terhitung lima tahun setelah terdakwa menjalani hukuman pidana pokok,” tandas Franki. Atas putusan majelis hakim, Markus Nari bersama tim penasihat hukumnya maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mengaku akan pikir-pikir selama tujuh hari apakah akan menerima atau mengajukan banding.
Meski demikian, Markus Nari mengaku heran dengan putusan majelis hakim sebab dalam persidangan, Sugiharto menyebutkan bahwa uang yang dia serahkan dalam bentuk dolar Singapura. Nari bersikeras memastikan tidak menerima uang dari Sugiharto. “Saya merasa heran ketika Sugiharto menyerahkan uang ke saya, dibilang Singapura dolar. Dan saya tidak pernah melihat uang itu, saya tidak pernah melihat,” ungkap Nari.
(don)