Friday, February 21, 2025

IKA PMII, Bertahan atau Tenggelam dalam Disrupsi

0 comments

loading...

Eko Ernada. Foto/Istimewa

Eko Ernada
Alumni PMII Jember

SETIAP generasi memiliki tantangan zamannya sendiri. Jika di masa lalu kepemimpinan ditentukan oleh otoritas formal dan stabilitas sosial, maka di era disrupsi yang penuh ketidakpastian ini, pemimpin harus mampu membaca perubahan dan menciptakan strategi adaptasi yang tepat. Dalam konteks ini, Munas VII IKA PMII bukan sekadar ajang pergantian kepengurusan, tetapi menjadi momentum refleksi: sejauh mana organisasi ini mampu bertransformasi menjadi katalis bagi kepemimpinan progresif di Indonesia.

Antonio Gramsci dalam pemikirannya menegaskan bahwa kepemimpinan tidak hanya berkaitan dengan penguasaan atas institusi, tetapi juga soal peran intelektual organik. Intelektual jenis ini tidak sekadar memahami teori, tetapi juga terlibat aktif dalam dinamika sosial dan membangun kesadaran kritis di tengah masyarakat. Jika dikontekstualisasikan dalam IKA PMII, ini berarti alumni tidak boleh hanya menjadi patron bagi adik-adik PMII, tetapi harus hadir sebagai fasilitator bagi tumbuhnya pemikiran progresif yang relevan dengan tantangan zaman.

IKA PMII kini berada di persimpangan jalan: apakah akan tetap relevan atau justru kehilangan daya pengaruh dalam arus disrupsi? Banyak organisasi alumni terjebak dalam pola relasi hierarkis, di mana senior menjadi figur dominan dan junior menjadi penerima doktrin tanpa banyak ruang untuk inovasi. Jika IKA PMII ingin bertahan dan berkembang, maka ia harus menumbuhkan ekosistem yang memungkinkan kader-kader muda PMII tidak hanya mengikuti jejak senior mereka, tetapi juga diberi kebebasan untuk menciptakan jalur baru yang lebih adaptif dengan dinamika perubahan global.

Sejarah telah membuktikan bahwa PMII adalah organisasi yang mampu bertahan dalam berbagai tantangan zaman. Dari era Orde Baru yang penuh represi hingga transisi demokrasi pasca-Reformasi, PMII selalu berkontribusi dalam perubahan sosial. Namun, tantangan hari ini jauh lebih kompleks. Era digital mengubah lanskap kepemimpinan secara fundamental, di mana kekuasaan tidak lagi hanya bersumber dari jabatan formal, tetapi juga dari kemampuan individu dalam menguasai narasi dan teknologi.

Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century menekankan bahwa di abad ke-21, mereka yang mampu bertahan bukanlah yang sekadar kuat secara fisik atau memiliki banyak pengetahuan teoretis, tetapi mereka yang bisa belajar dengan cepat dan beradaptasi dengan perubahan. Ketahanan mental dan kemampuan berpikir lintas disiplin menjadi lebih penting dibanding sekadar kepatuhan pada pola pikir lama. Ini berarti, pola relasi antara alumni dan adik-adik PMII harus bergeser dari hubungan hierarkis menuju kemitraan strategis yang memungkinkan kader-kader muda mengembangkan daya pikir kritisnya sendiri.

Adik-adik PMII hari ini menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya. Mereka harus menghadapi disrupsi teknologi, ketidakstabilan politik, serta ketidakpastian ekonomi global. Dalam kondisi seperti ini, alumni IKA PMII tidak cukup hanya memberikan wejangan atau nasihat satu arah. Yang lebih dibutuhkan adalah ruang dialog yang memungkinkan kader-kader muda mengembangkan wawasan mereka dengan dukungan jaringan alumni yang kuat.

IKA PMII harus mampu keluar dari jebakan relasi patron-klien yang kaku. Organisasi ini memiliki modal sosial dan intelektual yang besar, tetapi modal ini akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan untuk menciptakan forum-forum diskusi yang memungkinkan interaksi lintas generasi secara lebih dinamis. Tidak sedikit alumni PMII yang kini berada di posisi strategis di berbagai bidang, mulai dari pemerintahan, akademisi, hingga dunia bisnis. Tantangannya adalah bagaimana jaringan ini bisa dimanfaatkan secara lebih efektif untuk mendukung kaderisasi yang berbasis kompetensi dan inovasi.

Transformasi kepemimpinan di IKA PMII tidak berarti meninggalkan nilai-nilai lama, tetapi justru membangun jembatan antara tradisi intelektual pergerakan mahasiswa dengan kebutuhan zaman. Jika generasi senior PMII di era Orde Baru berjuang melawan represi politik, dan kader pasca-Reformasi menghadapi tantangan konsolidasi demokrasi, maka generasi saat ini harus menghadapi era digital dan perubahan tatanan global dengan pendekatan yang lebih inovatif.

Salah satu jebakan yang sering dihadapi organisasi alumni adalah kecenderungan untuk larut dalam romantisme masa lalu. Padahal, nostalgia saja tidak cukup untuk menjawab tantangan zaman. Sejarah PMII harus menjadi inspirasi untuk bergerak maju, bukan sekadar cerita lama yang terus diulang tanpa relevansi dengan konteks kekinian. Banyak organisasi alumni lain yang mampu bertahan dan berkembang justru karena mereka beradaptasi dengan dinamika zaman. Mereka membangun ekosistem yang memungkinkan interaksi lintas generasi, tidak hanya dalam bentuk forum-forum resmi, tetapi juga melalui mentorship yang lebih fleksibel.

Munas VII harus menjadi momentum bagi IKA PMII untuk menegaskan kembali perannya: bukan hanya sebagai wadah nostalgia bagi para alumni, tetapi juga sebagai ekosistem intelektual yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang adaptif, kritis, dan inovatif. Seperti yang dikatakan Gramsci, sejarah bukanlah sesuatu yang diwariskan begitu saja, tetapi sesuatu yang terus dibentuk oleh mereka yang berani mengambil peran aktif dalam perubahan.

IKA PMII tidak boleh hanya menjadi saksi atas perubahan zaman, tetapi harus menjadi aktor utama yang ikut membentuk arah perubahan itu sendiri. Jika tidak mampu beradaptasi, maka eksistensinya sebagai organisasi alumni hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi. Namun, jika mampu menjawab tantangan zaman dengan pemikiran progresif dan kepemimpinan transformatif, IKA PMII dapat menjadi pusat gravitasi kepemimpinan nasional yang tidak hanya menjaga tradisi intelektual PMII, tetapi juga menjadi kekuatan penggerak perubahan di Indonesia.

(zik)

Adblock test (Why?)



No comments:

Post a Comment