Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat pasar modal Hans Kwee mengatakan, pemerintah dan perusahaan di negara berkembang menarik pinjaman dari pasar luar negeri dengan mencatatkan rekor baru di kuartal I 2021.
Risikonya meningkat karena beberapa negara mengalami kebangkitan kembali kasus Covid-19 dan memaksa negara tersebut melakukan lockdown yang ketat.
"Penarikan pinjaman melalui eurobonds (surat utang yang diterbitkan di luar negeri) dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS), euro, dan yen mencapai puncak Maret 2021. Penggalangan dana mencapai 191 miliar dolar AS," ujar dia melalui risetnya, Minggu (25/4/2021).
Baca juga: Luncurkan Gerakan Indonesiaku Hijau, PKS: Pembangunan Tak Boleh Cuma Berorientasi Ekonomi
Beberapa negara berkembang dinilainya harus berjuang melawan kebangkitan kasus infeksi virus Covid-19 dan naiknya imbal hasil obligasi sejak awal 2021.
Hal ini membuat risiko aset di negara berkembang menjadi meningkat meski IMF menaikkan perkiraan untuk pertumbuhan global tahun 2021 dan tahun 2022.
"Tetapi IMF memperingatkan adanya perbedaan pemulihan dengan sebagian besar pemulihan negara berkembang tidak sebaik negara maju. Lalu, dalam beberapa kasus lebih buruk dari perkiraan sebelumnya," pungkas Hans.
Baca juga: Sri Mulyani Berharap Perempuan Ikut Serta Maksimalkan Potensi Ekonomi Digital
Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyatakan, pembiayaan utang untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari Januari sampai Maret 2021 sudah terealisasi Rp 328,5 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, realisasi pembiayaan utang itu sebesar 27,9 triliun dari target Rp 1.177,4 triliun sepanjang 2021.
Realisasi tersebut setara dengan 63,9 persen dari target semester I 2021, sementara semester I masih berlanjut hingga Juni.