Selama berpuluh tahun mereka terpaksa menggunakan salah satu ruangan yang terbuat dari bambu pada sebuah Sekolah Rendah di Weltevreden sekaligus diharuskan menggunakan ruang dalam sebuah gereja Portugis di Batavia.
Baca juga: Masuk Cagar Budaya, Pemprov DKI Lakukan Revitalisasi GPIB Immanuel Secara Hati-hati
Karena tidak memiliki gereja sendiri mereka merasa kurang nyaman dengan kondisi tersebut. Ditambah lagi karena sebagian besar masyarakat Eropa saat itu sudah berdiam di kawasan kota yang baru (Weltevreden) dan meninggalkan kota Batavia.
Umat Protestan Hervormd dan Lutheran telah sepakat mempunyai gereja yang akan digunakan bersama-sama. Pembangunan gereja tersebut dimulai pada tahun 1834 berdasarkan rancangan dari JH Horst, seorang kepala kantor pegadaian dan pengukur tanah.
Untuk pekerjaan merancang gereja ini, Horst mendapat imbalan sebesar f 10 ribu. Dalam perkembangannya, pembangunan gereja sempat mengalami kekurangan dana karena dana kedua umat tidak mencukupi untuk pembangunan gereja tersebut. Pada tahun 1838, mereka meminta bantuan dana dari pemerintah yang pada akhirnya diputuskan sebagai pinjaman dapat dicairkan sebelum waktunya.
Gereja Immanuel Jakarta ini akhirnya dapat diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1839 dengan nama Willemskerk. Nama Willemskerk diberikan kepada gereja baru itu untuk menghormati Raja Willem I yang mempunyai keinginan mempersatukan umat-umat Protestan agar dapat membentuk satu gereja yang berlandaskan gagasan liberal seperti persaudaraan, toleransi, dan kesamaan kedudukan.
Suasana dalam Gereja Immanuel Jakarta. Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Usaha mempersatukan dua umat Protestan ini tidak berhasil di Belanda, tetapi usaha tadi tidak sepenuhnya gagal di Hindia Belanda. Dengan pembangunan gereja ini, umat Protestan Lutheran dan Hervormd disatukan dalam sebuah gereja. Selain umat Protestan Hervormd dan Lutheran, umat Protestan Evangeli pun turut menggunakan gereja ini sebagai tempat ibadahnya.
Baca juga: AS Kembalikan 3 Artefak Cagar Budaya yang Diselundupkan dari Indonesia
Pada masa pendudukan Jepang, gereja ini sempat digunakan untuk menyimpan abu jenazah tentara Jepang yang gugur dalam peperangan. Pada masa tersebut, bangunan ini dikenal dengan nama Kuil Churei-do. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, gereja ini dikembalikan fungsinya sebagai tempat beribadat umat Kristen. Nama Willemskerk berubah menjadi Gereja Immanuel pada tahun 1948 saat didirikan Gereja Protestan Indonesia Barat.
GPIB Immanuel Jakarta yang terletak di persimpangan Jalan Merdeka Timur dan Jalan Pejambon ini memiliki halaman cukup luas, bergaya arsitektur Imperial yang merupakan bagian dari Neo Klasik dan mendapat pengaruh Barok dan Rokoko pada interiornya.
Bangunan gereja berdenah lingkaran simetris dengan 4 pintu masuk dan beratap kubah berpenutup sirap dengan cupola di puncaknya. Atap pada pedimen dan teras belakang merupakan atap perisai dengan penutup genteng. Di sekeliling dinding bagian atas bangunan gereja terdapat entablatur. Struktur bangunan merupakan dinding pemikul yang terbuat dari susunan bata yang diplester dengan campuran kapur dan pasir. Lantai bangunan gereja dibuat lebih tinggi 3,2 meter dari halaman.