loading...
Pemerhati budaya dan komunikasi digital dan pendiri LITEROS.org
APAKAH beda pendapat itu buruk dan pelontarnya layak dihina atau dihukum? Beda pendapat itu luas spektrumnya. Mulai dari beda pendapat lantaran tak sepakat dengan substansi pikiran orang lain. Wujudnya bisa sekadar pernyataan tak setuju. Walapun tak cukup bukti, sekedar ikut selera lontaran beda pendapat sah dikemukakan.
Beda pendapat macam itu dilindungi sebagai bagian hak demokrasi warga. Ini biasa saja di negara yang tak otoriter. Beda pendapat yang juga dilindungi pelontarannya di tengah khalayak adalah beda pendapat yang bertujuan mengkritisi. Sering penyampaiannya dilandasi bukti-bukti.
Tujuan penyampaiannya, ada peluang kebenaran lain seturut bukti yang tersedia. Jenis ini disebut sebagai kritik. Ini juga biasa di negara tak otoriter. Sedangkan spektrum ujung lainnya, beda pendapat yang dibalut tuduhan: orang lain adalah kaki tangan pihak tertentu, kongkalikong wujudkan tujuan yang tak transparan. Ini beda pendapat yang diikuti penghilangan martabat orang lain. Sering tanpa dasar dan bukti.
Baca Juga:
Beda pendapat jenis ini sering disebut sebagai ujaran kebencian. Tentu karena yang dituduh merasa dibenci, diposisikan di tempat tak dikehendaki oleh penuduhnya. Jika tuduhan tak berdasar itu dipercaya banyak orang, dikhawatirkan merusak reputasi pihak yang dituduh. Karenanya, beda pendapat yang berbalut tuduhan, sering berujung pada pelaporan oleh pihak yang dirugikan, pada polisi.
Demikian pula sepakat dengan pendapat arus utama. Tak berspekturum tunggal. Bisa karena memang sepaham dengan substansi yang dikemukakan orang lain. Bisa pula lantaran tak punya pilihan untuk bersuara lain. Diam biasanya akibat khawatir dirundung pemilik pendapat arus utama. Atau juga khawatir diintepretasi sebagai pendukung kelompok tertentu dengan tujuan tertentu. Diam seolah sepakat, jadi pilihan lebih baik. Bukan karena setuju.
Setidaknya itu dua gejala yang mengemuka di jagad media digital hari-hari ini. Wacana dukung-mendukung dan tuduh menuduh, deras berseliweran. Realitas yang sejati, kalau itu memang ada, jadi kabur. Keluasan spektrum beda pendapat maupun sependapat diingkari.
Bersikap mutlak pada suatu pendapat, jadi tuntutan. Mendukung atau menentang, seakan adalah sikap yang mudah ditentukan dan dinyatakan. Seakan, hanya love or hate itulah yang berlaku di dunia komunikasi digital.
Jika dikaji seksama, pendapat di media digital lebih sering dikonstitusi oleh hitungan kuantitatif. Derasnya like, repost, komentar positif yang kemudian menghasilkan wacana viral, tak jarang diintepretasi sebagai persetujuan, love pada suatu pendapat. Sedangkan luasnya caci maki, jempol terbalik, pendapat dengan tone negative, diintepretasi sebagai hate pada suatu pendapat.
Kajian mendalam terhadap kualitas makna, yang butuh waktu panjang, sering terkubur oleh kecepatan dukungan atau cercaan kuantitatif. Dialog yang didasari rasionalitas, akibat jarang dilakukan, seakan bukan lagi jadi ciri manusia hari ini.
Manusia yang komunikasinya termediasi perangkat digital. Kecepatan dan keberlimpahan sebagai karakterisitiknya, mengubah orientasinya. Yang dibutuhkan, lebih cepat dan lebih banyak bilangan kuantitatif, dalam memosisikan pendapat.
Hari ini, entah jadi kabar baik atau buruk bagi masyarakat penghuni dunia komunikasi digital. Dua pesohor musik nasional yang telah terlarut cukup lama dalam pusaran pro-kontra Covid-19, dikabarkan harus berurusan dengan polisi. Salah satunya, bahkan harus ditahan. Ini lantaran pendapat yang beda soal Covid-19, dibalut tuduhan: ada komunitas yang jadi kaki tangan lembaga dunia.
Dan komunitas ini mengampanyekan penularan virus dalam tendensi ekonomi politik. Komunitas yang dituduh, merasa terhina. Komunitas ini berisi orang berpengetahuan, dengan pendapat yang juga dikonstitusi oleh pengetahuan. Ketika pendapat komunitas itu beda dengan pendapat pihak lain, mestinya jadi hal yang biasa. Masalahnya, hal biasa dalam beda pendapat itu jadi perkara, ketika ada unsur hinaan. Marah jadi wajar. Maka dibanding baku hantam di jalanan, melaporkan penghina ke polisi adalah tindakan yang tak salah menurut undang-undang.
Sedangkan musisi lainnya, yang juga jadi terlapor, telah berhadapan dengan polisi. Ia tak ditahan. Itu terjadi akibat akumulasi pendapatnya, yang makin beda dengan pendapat arus utama. Lontarannya dianggap sebagai hoaks, menyiarkan telah ditemukannya obat penyembuh Covid-19. Padahal yang terjadi, berbagai upaya dan penelitian belum berhasil menemukan penangkal Covid-19. Penyebaran hoaks dikhawatirkan ciptakan harapan palsu, yang menjerumuskan masyarakat tak lagi waspada mencegah penularan.
Terhadap akumulasi pendapatnya itu, banyak pihak termasuk saya pada beberapa forum diskusi dan wawancara, turut memberikan saran: kalau tak memiliki kompetensi pada suatu substansi, sebaiknya tak melontarkan pendapat. Ini bukan soal menghalangi kebebasan berpendapat, dan setiap orang harus sepakat dengan pendapat arus utama.
Pada personal tertentu yang telah tersohor, pendapatnya jadi acuan khalayak luas. Musisi, bintang sepak bola, pesinetron maupun pesohor lainnya, pendapatnya secara emosional diikuti sekelompok orang. Sekelompok pengagum yang fanatik, bukan saja pada bidang sang pesohor.
Pada hal-hal lain di luar kesohorannya, juga dipatuhi. Karenanya pesohor harus menahan diri lontarkan pendapat. Terlebih pada bidang yang tak dikuasainya. Ini artinya, ada tanggung jawab melekat bagi pesohor.
Dalam konteks kampanye pencegahan penularan Covid-19, adanya wacana berbeda dengan arus utama, oleh mereka yang tak punya kompetensi, bisa merugikan. Ketunggalan pesan, melakukan pencegahan, tak tercapai. Namun demikian, dalam kegentingan Covid-19 pun, apakah beda pendapat perlu dihukum? Dalam spektrum beda pendapat yang mana hukuman itu ditegakkan? Persoalan dengan spektrum luas, tak mudah ditentukan. Hati-hati.
(dam)