loading...
Penundaan ini menyiratkan sikap hati-hati dari partai pemenang Pemilu 2019 ini dalam memilih pasangan calon kepala daerah untuk Kota Surabaya. Hal ini beralasan karena Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia sehingga kemenangan atau kekalahan akan memberi dampak jangka panjang, termasuk dalam menghadapi Pemilu 2024. Selain itu, PDIP perlu menjaga kekuasaannya di Surabaya yang sudah digenggam selama 20 tahun.
Penundaan pengumuman untuk ke sekian kalinya ini mengundang reaksi. Apalagi, pengurus DPC PDIP Kota Surabaya telah lama menantikan pengumuman dari DPP dengan alasan mesin partai harus digerakkan untuk mencari dukungan masyarakat. (Baca juga: Indonesia Tidak Akan Selamat, Waktu 1,5 Bulan Tidak Cukup Hindari Resesi)
DPC PDIP Surabaya perlu bergerak cepat karena menyadari lawan yang akan dihadapi di pilkada sangat serius. Partai ini akan menghadapi koalisi delapan partai politik. Delapan parpol ini telah menyatakan akan mendukung bakal calon wali kota Machfud Arifin yang juga mantan Kapolda Jawa Timur.
Baca Juga:
Parpol yang mendukung Machfud Arifin yakni yakni Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Gerindra, PKB, Partai Demokrat, PAN, PKS, PPP. Koalisi besar ini menguasai 31 kursi dari 50 kursi di DPRD Surabaya. Adapun PDIP hanya memiliki 15 kursi. Empat kursi lain dimiliki PSI.
Namun, harapan pengurus PDIP Surabaya kembali pupus kemarin. DPP PDIP memutuskan kembali menundanya kemarin. Sebelumnya, pengumuman dijadwalkan akan dilakukan pada 19 Agustus 2020, lalu ditunda menjadi 24 Agustus 2020. (Baca juga: Bopong Senjata dan Radar Canggih, Pesawat F-16 TNI AU Semakin Garang)
Dalam pengumuman nama-nama calon kepala daerah PDIP gelombang IV, kemarin, Ketua DPP PDIP Bidang Politik Puan Maharani yang sudah memagang amplop berisi surat rekomendasi pencalonan wali kota dan wakil wali kota Surabaya batal mengumumkan. Alasan yang disampaikan adalah tidak tersambungnya siaran virtual dengan DPD PDIP Jatim ataupun DPC PDIP Surabaya sehingga pengumuman urung dilakukan.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Suko Widodo menduga, penyebab penentuan calon kepala daerah untuk Surabaya deadlock karena adanya friksi di internal DPC PDIP Surabaya.
Menurut Suko, sejak lama ada perbedaan pilihan antara kelompok Wishnu Sakti Buana yang juga Wakil Wali Kota Surabaya, dengan Tri Rismanaharani yang saat ini menjabat wali kota Surabaya. Whisnu adalah calon yang diajukan DPC PDIP. Risma disebut tidak menginginkan Whisnu dan lebih memilih Ery Cahyadi yang saat ini menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya.
Eri Cahyadi kemungkinan akan berpasangan dengan Armuji yang merupakan anggota DPRD Jawa Timur. Risma disebut punya relasi yang bagus dengan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri sehingga membuat tarik menarik menjadi alot. (Baca juga: Memanas, China Usir Kapal Perang AS dari Laut China Selatan)
"Memang ada friksi, di kalangan partai pecah. Misalnya ada (kelompok) Armuji (anggota DPRD Jatim), ada Wishnu (Wakil Wali Kota Surabaya Wishnu Sakti Buana), tapi Bu Risma sebagai orang PDIP, memang menyiapkan Eri (Eri Cahyadi)," ujar Suko saat dihubungi kemarin.
Suko menyebut PDIP sangat berhitung di Surabaya. Karena itu, alotnya pencalonan di Surabaya juga dipengaruhi misi politik 2024. DPP PDIP berhitung bahwa PDIP harus tetap menjaga kekuasaannya di Kota Surabaya yang sudah digenggam selama 20 tahun, yakni dua periode kepemimpinan Bambang Dh dan dua periode kepemimpinan Tri Rismaharini.
"PDIP sangat membaca kepentingan Pilkada Surabaya dengan Pemilu 2024 karena Surabaya kan barometernya Jawa Timur, dan PDIP yang sangat kuat di Jawa Timur kan salah satunya di Surabaya," tuturnya.
Namun, dia menilai pada akhirnya nanti semua akan tergantung Megawati. “Kalau Mega turun apa pun yang diputuskan akan didukung oleh kader,” ujarnya. (Baca juga: Mencekam, Polsek Ciracas Dibakar Gerombolan Tak Dikenal)
Terkait kans PDIP melawan koalisi delapan partai, Suko menyebut peluang menang PDIP tetap ada, meski dikeroyok. Dia mengakui Surabaya memiliki kekentalan sebagai basis merah PDIP. Apalagi, menurut dia, melihat sejarah, jika Pilkada Surabaya digelar sendiri, tidak berbarengan pilpres, maka partisipasi pemilih rendah. “Di situ PDIP punya peluang karena kekentalan pendukung akan utuh, masyarakat mudah digerakkan,” tandasnya.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) punya pandangan yang sama. Menurutnya, tarik menarik kepentingan membuat penentuan calon di pilkada Surabaya dari PDIP alot. Di lain sisi, PDIP juga pasti berhati-hati karena Surabaya termasuk kota yang penting untuk dimenangi.
“Saya kira kemenangan di Surabaya tetap penting memberikan arti lebih kepada partai, apalagi PDIP di sana tentu ingin tunjukkan bahwa mereka bekerja,” ujarnya. (Lihat videonya: Dua Kali Ditangkap Warga, Macan Tutul Jawa Kembali Dilepas Liarkan ke Habitatnya)
Sementara, itu, , Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto menyebutkan partainya masih membutuhkan konsolidasi bersama untuk mematangkan nama calon di Surabaya. Menurut Hasto, dibutuhkan momentum yang tepat. Karena itu, rencananya DPP PDIP akan datang ke DPD PDIP Jawa Timur pada Minggu (31/8) untuk memfinalkan nama calon yang diusung di Pilkada Surabaya dan sejumlah daerah lain di Jawa Timur seperti Sidoarjo dan Pacitan. (Abdul Rochim)
(ysw)